Dakwah IslamManhajTauhid

Keagungan Dakwah Tauhid

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36).

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50). Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu was salam (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 19)

Oleh sebab itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ketika mengutusnya ke Yaman, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari). Yang dimaksud dengan tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (an-Nisaa’ : 36). Tauhid inilah perintah Allah yang paling agung, sebagaimana syirik adalah larangan Allah yang paling besar (lihat Tsalatsatul Ushul)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.” (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadits no 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4/362)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Perkara paling agung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yang hakikat tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Tauhid itu mengandung kebaikan bagi hati, memberikan kelapangan, cahaya, dan kelapangan dada. Dan dengan tauhid itu pula akan lenyaplah berbagai kotoran yang menodainya. Pada tauhid itu terkandung kemaslahatan bagi badan, serta bagi [kehidupan] dunia dan akhirat. Adapun perkara paling besar yang dilarang Allah adalah syirik dalam beribadah kepada-Nya. Yang hal itu menimbulkan kerusakan dan penyesalan bagi hati, bagi badan, ketika di dunia maupun di akhirat. Maka segala kebaikan di dunia dan di akhirat itu semua adalah buah dari tauhid. Demikian pula, semua keburukan di dunia dan di akhirat, maka itu semua adalah buah dari syirik.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 18)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah selama tiga belas tahun setelah diutusnya beliau -sebagai rasul- dan beliau menyeru manusia untuk meluruskan aqidah dengan cara beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada patung-patung sebelum beliau memerintahkan manusia untuk menunaikan sholat, zakat, puasa, haji, dan jihad, serta supaya mereka meninggalkan hal-hal yang diharamkan semacam riba, zina, khamr, dan judi.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 20-21)

Syaikh Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’ hafizhahullah berkata, “Perkara yang pertama kali diperintahkan kepada [Nabi] al-Mushthofa shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu untuk memberikan peringatan dari syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga berlumuran dengan perbuatan zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk pelanggaran. Meskipun demikian, beliau memulai dakwahnya dengan ajakan kepada tauhid dan peringatan dari syirik. Beliau terus melakukan hal itu selama 13 tahun. Sampai-sampai sholat yang sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali setelah 10 tahun beliau diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan kewajiban memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara terpenting dan paling utama yang diperhatikan oleh seluruh para nabi dan rasul…” (lihat ta’liq beliau dalam Mukhtashar Sirati an-Nabi karya Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 59-60)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan, “Apabila para da’i pada hari ini hendak menyatukan umat, menjalin persaudaraan dan kerjasama, sudah semestinya mereka melakukan ishlah/perbaikan dalam hal aqidah. Tanpa memperbaiki aqidah tidak mungkin bisa mempersatukan umat. Karena ia akan menggabungkan antara berbagai hal yang saling bertentangan. Meski bagaimana pun cara orang mengusahakannya; dengan diadakannya berbagai mu’tamar/pertemuan atau seminar untuk menyatukan kalimat. Maka itu semuanya tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan memperbaiki aqidah, yaitu aqidah tauhid…” (lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah, hal. 16)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (lihat at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidaklah diragukan bahwasanya Allah subhanahu telah menurunkan al-Qur’an sebagai penjelas atas segala sesuatu. Dan bahwasanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan al-Qur’an ini dengan penjelasan yang amat gamblang dan memuaskan. Dan perkara paling agung yang diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an ini adalah persoalan tauhid dan syirik. Karena tauhid adalah landasan Islam dan landasan agama, dan itulah pondasi yang dibangun di atasnya seluruh amal. Sementara syirik adalah yang menghancurkan pondasi ini, dan syirik itulah yang merusaknya sehingga ia menjadi lenyap…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 14)

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah memaparkan, “Pada masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada akhlak, kejujuran dan amanah niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi maupun para wali yang notabene adalah hamba-hamba Allah [bukan sesembahan, pent] maka orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan hadits, ‘..Apabila kamu minta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun mengatakan, ‘Ini adalah haditsnya Wahabi’!…” (lihat Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13)

Apabila memelihara kesehatan tubuh adalah dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan obat-obatan, maka sesungguhnya memelihara tauhid adalah dengan ilmu dan dakwah. Sementara tidak ada suatu ilmu yang bisa memelihara tauhid seperti halnya ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian pula tidak ada suatu dakwah yang bisa menyingkap syirik dengan jelas sebagaimana dakwah yang mengikuti metode keduanya [al-Kitab dan as-Sunnah, pent] (lihat asy-Syirk fi al-Qadiim wa al-Hadiits, hal. 6)

Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)

Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam– atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)

Salah satu kaidah dan pokok dalam agama Islam ini adalah mendakwahkan agama Allah dengan landasan ilmu. Inilah yang difirmankan Allah (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108).

Dakwah ini harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan mengikuti tuntunan. Apabila kehilangan ikhlas maka dia terjerumus dalam kemusyrikan, dan apabila tidak sesuai dengan tuntunan maka dia termasuk pelaku kebid’ahan (lihat Ushul Da’wah Salafiyah, hal. 38)

Oleh sebab itu sangat tepat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa melakukan suatu amal/perbuatan tanpa ilmu maka apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”

Selain itu dakwah pun harus dibangun di atas keikhlasan. Sebab ikhlas adalah syarat diterimanya amalan. Tanpa keikhlasan maka amal sebesar apapun akan sia-sia. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

——–

Info Penerimaan Santri Baru Ma’had al-Mubarok :

12959419_1126149990738724_1443654006_o

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *