AqidahTauhid

Bersandar kepada Allah

Bismillah.

Alhamdulillah; segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Salah satu sifat yang mengangkat kedudukan seorang hamba di hadapan Allah adalah ketergantungan hatinya kepada Allah semata. Sebagaimana di bagian awal surat al-Anfal ketika Allah menggambarkan diantara sifat orang beriman adalah ‘kepada Rabbnya mereka itu bertawakal’, begitu pula dalam hadits tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab disebutkan bahwa diantara sifatnya ‘dan kepada Rabbnya mereka itu bertawakal’.

Tawakal atau bersandarnya hati kepada Allah merupakan salah satu kewajiban iman yang paling utama. Ia merupakan kandungan dari kalimat wa iyyaka nasta’iin; hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, dan ia juga merupakan makna yang dimaksud dalam kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah; tiada daya dan kekuatan kecuali dengan bantuan dan pertolongan dari Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa tawakal kepada Allah merupakan bagian konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah Allah; karena hanya Allah yang mengatur dan menguasai alam maka sudah selayaknya hamba menggantungkan hatinya kepada Allah Rabb penguasa seluruh alam. Tawakal itu sendiri termasuk bentuk ibadah hati yang paling mulia. Oleh sebab itu Allah jadikan kecukupan dari-Nya sebagai balasan bagi orang yang bertawakal kepada-Nya.

Lenyapnya tawakal kepada Allah akan membuat hamba bersandar kepada makhluk atau kepada dirinya sendiri. Dan itu merupakan bentuk kesombongan kepada Allah. Oleh sebab itu Allah menyebut orang yang tidak mau berdoa dan meminta kepada-Nya sebagai orang yang sombong. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)

Seorang yang bertawakal kepada Allah akan menyandarkan segala urusannya kepada Allah. Dia tidak akan menyandarkan dirinya kepada makhluk bahkan kepada dirinya sendiri. Dia meyakini bahwa segala nikmat yang dia peroleh berasal dari Allah. Dia meyakini bahwa Allah tidak membutuhkan ibadahnya, bahkan dirinya yang paling membutuhkan ibadah itu. Dia meyakini bahwa Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang setia kepada-Nya. Tidak ada yang lebih bermanfaat daripada ketaatan kepada-Nya dan tidak ada yang lebih membahayakan daripada kedurhakaan kepada-Nya. Allah Mahakaya sedangkan kita semua adalah fakir di hadapan-Nya.

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *