Bismillah.
Dalam perspektif masyarakat muslim di Jawa terdapat ajaran untuk menjauhi lima perkara yang disingkat dengan istilah mo limo (5 M); yaitu main, madon, mendem, madat, maling. Artinya; berjudi, bermain perempuan, mabuk, narkoba, dan mencuri.
Pada konteks kehidupan masa kini di era pasca pandemi kita telah menyaksikan bangkitnya kembali bentuk-bentuk kerusakan yang berkaitan dengan kelima perbuatan buruk di atas. Bukan hanya itu kita juga kerap mendengar kasus bunuh diri dan gangguan mental yang dialami kaum muda dan para mahasiswa yang notabene termasuk kalangan intelektual muda yang diharapkan menjadi penerus perjuangan bangsa.
Bahkan kita pun mendengar kasus pembunuhan yang sadis akibat judi online. Seorang istri membakar hidup-hidup suaminya karena si suami menghabiskan uang gajinya untuk judi online. Padahal keduanya adalah polisi. Sebelumnya kita juga dikejutkan dengan kasus oknum pejabat kepolisian yang terjerat kasus pembunuhan dan menjadi otak perjudian online di tanah air… Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun…
Realita memilukan yang kita saksikan hari ini adalah permasalahan umat yang perlu mendapat perhatian besar oleh kaum muslimin. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan dan keamanan. Oleh sebab itu Islam mengharamkan berbagai bentuk kezaliman. Islam juga memberikan pedoman untuk menjaga keamanan dan menjaga stabilitas negeri kaum muslimin. Nikmat rasa aman dan ketentraman adalah karunia yang wajib untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh segenap komponen masyarakat.
Di dalam al-Qur’an Allah telah menjelaskan kunci untuk meraih keamanan dan ketentraman adalah dengan iman dan menjauhkan diri dari kezaliman. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82). Iman dan keadilan adalah asas ketentraman dan hidayah. Bentuk keadilan tertinggi adalah menujukan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Oleh sebab itu Allah menyebut syirik sebagai suatu tindak kezaliman yang sangat besar. Karena itulah para ulama seperti Imam adz-Dzahabi rahimahullah menempatkan dosa syirik sebagai urutan pertama diantara sekian banyak dosa besar di dalam kitabnya al-Kaba’ir.
Kita hidup di masa banyak orang lebih perhatian dengan penyakit-penyakit fisik daripada penyakit-penyakit hati. Mereka rela mengeluarkan biaya jutaan demi menjaga kesehatan badan tetapi kikir untuk menyisihkan hartanya dalam rangka menimba ilmu agama dan menjaga kesehatan hati. Para ulama adalah dokter-dokter hati, yang dengan panduan Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka membimbing manusia menuju hidayah dan memberikan resep untuk terapi penyakit-penyakit hati.
Ketika manusia telah hanyut dalam materialisme, yang mana orang selalu mengukur keberhasilan dan kebaikan dengan timbangan materi dan kesenangan duniawi, petunjuk dan bimbingan ulama dianggap seperti angin lalu saja. Berbagai fitnah pemikiran, tradisi dan penyimpangan hawa nafsu telah menjebak bani Adam di akhir zaman ini untuk rela menjual bagian agama dan ketaatannya demi mengais serpihan fatamorgana yang bernama kesenangan dunia yang fana lagi memperdaya…
Inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbagai kesenangan duniawi itu dibukakan untuk kaum muslimin sehingga dengan mudah mereka mencicipinya; mereka pun berlomba-lomba untuk merebutnya seperti umat-umat terdahulu yang binasa karena fitnah dunia. Jadilah umat ini lemah dan jatuh kewibawaannya. Mereka dikerumuni oleh kaum-kaum kafir seperti orang-orang yang berkumpul untuk menyantap hidangan makanan dalam satu nampan yang sama. Cinta dunia dan takut mati telah merembet dalam pikiran dan hati anak-anak negeri. Bergejolak dan mengalir dalam tubuh mereka seperti aliran darah dari jantungnya.
Seperti yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah; bahwa orang-orang itu lari meninggalkan penghambaan yang menjadi tujuan mereka Allah ciptakan, akibatnya mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan. Ya Allah, berikanlah kepada kami petunjuk dan taufik-Mu… Mereka tidak lagi merasakan nikmatnya ibadah kepada ar-Rahman, kenikmatan yang membuat para ulama mengatakan, “Seandainya para raja dan putra-putra mahkota mengetahui kenikmatan yang kami rasakan dengan iman dan ilmu niscaya mereka akan berusaha merampasnya dari kami dengan pedang-pedang mereka…”
Kenikmatan yang dilukiskan oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling lezat di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla, merasa tenang dengan cinta dan dzikir kepada-Nya.” Tidaklah mengherankan apabila Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan; maka bagaimana kiranya keadaan seekor ikan apabila dia memisahkan dirinya dari air.”
Namun perlu digaris bawahi bahwa hakikat dzikir kepada Allah bukanlah semata-mata ucapan dengan lisan. Dzikir yang sejati adalah yang membuahkan ketaatan kepada Allah. Itulah yang ditegaskan oleh Sa’id bin Jubair rahimahullah. Karena itu para ulama menjelaskan bahwa dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan lisan dengan apa yang ada di dalam hati pelakunya. Betapa banyak orang yang lisannya menyebut nama Allah atau kalimat tauhid tetapi perbuatan dan perilakunya justru menunjukkan penghambaan kepada selain Allah…
Diantara bentuk dzikir yang paling mulia adalah membaca al-Qur’an. Termasuk bentuk dzikir yang paling utama juga adalah menimba ilmu dan mengajarkannya. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut majelis ilmu sebagai majelis/halaqah dzikir. Beliau pun menamai majelis ilmu itu dengan taman-taman surga. Sebab menuntut ilmu adalah jalan menuju surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Ilmu adalah sebab hidupnya hati, sebagaimana air hujan menjadi sebab hidupnya bumi. Orang yang berilmu akan merasa takut kepada Allah, berharap kepada-Nya dan cinta kepada-Nya. Tidaklah dia bertawakal kecuali kepada Rabbnya. Tidaklah dia berdoa dan meminta perlindungan kecuali kepada Allah yang menguasai langit dan bumi dan segala isinya. Ilmu tauhid inilah yang diserukan dan diajarkan para nabi kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.”
Keimanan kepada Allah dan hari akhir adalah perisai dan benteng bagi kaum mukmin dalam menghadapi berbagai cobaan dan ujian hidup. Berbagai bentuk penyimpangan dan kejahatan muncul akibat minimnya rasa takut kepada Allah dan kurangnya ilmu yang benar. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa semua pelaku maksiat adalah orang yang jahil/bodoh. Dari situlah kita memahami bahwa hakikat kecerdasan yang dipuji dalam syariat adalah kemampuan untuk menundukkan hawa nafsu kepada aturan dan perintah Allah. Mereka yang menyiapkan dirinya untuk menyambut kematian dan perjumpaan dengan Rabbnya; mengumpulkan amal salih dan menanam tauhid dalam kehidupannya.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (al-Kahfi : 110). Aqidah dan keimanan ini adalah barang yang mahal dan paling berharga untuk dijaga oleh setiap muslim. Tanpanya maka sebanyak apa pun amal akan sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap segala amal yang mereka lakukan.” (al-An’am : 88)
Maraknya perjudian, perzinaan, korupsi, miras, dsb adalah akibat dari jauhnya manusia dari petunjuk agama dan pondasi iman. Iman yang dimaksud bukan sekedar atribut, penampilan dan slogan. Iman mencakup aqidah yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan ketaatan dan amal salih dengan segenap anggota badan. Iman itulah yang membuahkan kepatuhan dan taubat. Oleh sebab itu Allah memanggil orang beriman dengan seruan indah ‘wahai orang-orang yang beriman’ untuk menunjukkan bahwa hukum-hukum syariat itu akan bermanfaat bagi mereka yang beriman. Sebab hanya mereka lah yang menyadari betapa besar kebutuhan jiwanya kepada syariat Allah; sebagaimana besarnya kebutuhan manusia kepada matahari, air dan udara. Bahkan kebutuhan kita kepada risalah jauh melebihi itu semua…
Kepada Allah semata kita bertawakal dan kepada-Nya kita kembali…
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com