AqidahManhaj

Urgensi Mengenal Allah

Bismillah.

Diantara ilmu yang sangat penting dan wajib dipelajari oleh kaum muslimin adalah aqidah/keyakinan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Bahkan para ulama memasukkan ilmu tentang hal ini ke dalam jajaran pertama ilmu agama yang menjadi kunci kebaikan hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu ilmu tentang aqidah tauhid disebut dengan istilah fiqih akbar/ilmu fikih yang terbesar. Ilmu tauhid mencakup pengenalan kepada Allah dengan nama-nama, sifat-sifat, rububiyah dan uluhiyah-Nya. Ilmu tentang nama dan sifat Allah disebut juga dengan tauhid asma’ wa shifat. Diantara ulama terdahulu yang memberikan perhatian besar dalam hal ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang dengan gagah berani mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah bukan makhluk sehingga beliau ‘harus’ dipenjara selama 3 periode kekhalifahan di masa itu demi membela kemurnian aqidah Islam.

Para ulama setelahnya seperti Imam Bukhari rahimahullah pun sangat keras dalam memperjuangkan kemurnian aqidah tauhid ini dengan kitabnya Shahih Bukhari. Hal ini akan tampak dengan jelas dengan mencermati hadits-hadits dan bab-bab yang beliau susun guna membantah berbagai firqah/aliran sesat dan menyimpang dalam hal aqidah tauhid. Sebelum mereka berdua juga ada Imam Malik rahimahullah -guru dari Imam Syafi’i- yang dengan tegas memerangi penyimpangan dan bid’ah dalam hal aqidah.

Imam Malik pernah berkata, “as-Sunnah/ajaran Nabi ini seperti kapal Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal/tidak mau menaikinya maka dia pasti tenggelam/binasa.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang membuat ajaran-ajaran baru/bi’dah di dalam Islam yang dia anggap sebagai suatu kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah/ajaran wahyu yang beliau emban…”

Imam Syafi’i rahimahullah -beliau adalah salah satu guru dari Imam Ahmad dan termasuk murid dari Imam Malik- juga mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana apa yang dikehendaki oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana apa yang dikehendaki Rasulullah.” Imam Syafi’i juga termasuk ulama yang sangat keras menentang ilmu kalam/filsafat ketuhanan karena ia merusak aqidah Islam yang murni.

Oleh sebab itu ulama terdahulu dari kalangan tabi’in sebelum para imam itu seperti Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat 157 H) berkata, “Wajib bagimu untuk mengikut jejak-jejak kaum salaf/para sahabat nabi, walaupun orang-orang menolakmu. Dan hati-hatilah kamu dari pendapat akal-akal manusia, meskipun mereka berupaya menghiasinya dengan ucapan-ucapan yang indah.” Perkataan beliau ini dinukil oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad.

Imam Ahmad bin Hanbal pun dengan tegas mengatakan, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam Syafi’i mengucapkan kalimat senada, “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits ini hanya gara-gara mengikuti pendapat/perkataan seseorang tokoh.” Ucapan-ucapan ini dikutip oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam mukadimah kitabnya yang sangat bermanfaat Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Sebagaimana setiap bangunan itu memiliki pondasi, maka sesungguhnya pondasi bangunan agama ini adalah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala beserta iman kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin kokoh pondasi ini maka semakin kuat pula bangunan itu dalam menampung dan tegak berdiri sehingga selamat dari keruntuhan atau ambruk.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 7 cet. Dar at-Tauhid tahun 1429 H)

Mengenal Allah adalah sebuah kenikmatan besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan. Sebuah kelezatan yang mewarnai hati dan perilaku insan beriman yang menegakkan hidupnya di atas asas ketakwaan. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Apakah itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Mengenal Allah berarti tunduk kepada agama-Nya, yaitu Islam. Mengenal Allah berarti pasrah kepada ketetapan dan hukum-hukum-Nya. Mengenal Allah berarti menjadikan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala sesuatu. Allah lebih dicintainya daripada harta, kedudukan, dan sanak keluarganya. Inilah kedudukan yang sangat agung yang telah dirasakan oleh generasi terbaik umat ini; yaitu para Sahabat radhiyallahu’anhum.

Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya….” (at-Taubah : 100)

Generasi terdahulu dari umat ini dibina dan digembleng di atas nilai-nilai iman dan keikhlasan yang sangat kuat. Mereka diasuh oleh sebaik-baik manusia dan pendidik terhebat di atas muka bumi ini, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu mereka tumbuh dengan berhiaskan akidah dan akhlak Islam. Mereka hidup dan bergerak demi Islam. Mereka lah yang disebut sebagai khairun naas ‘sebaik-baik umat manusia’. Mereka lah yang terdepan -setelah para nabi- termasuk dalam kelompok ‘orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah’ alias ‘alladziina an’amta ‘alaihim’. Orang-orang yang telah mendapatkan jaminan surga.

Oleh sebab itu dalam mengenal Allah melalui nama- dan sifat-Nya kita juga harus meniti jalan para sahabat. Inilah maksud dari pesan Imam al-Auza’i di atas. Ini pula yang tercakup dalam nasihat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad serta para ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa. Mereka senantiasa menekankan untuk kita berpegang-teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah (wafat 161 H) – beliau juga termasuk guru dari al-Auza’i, Imam Abu Hanifah dan Ibnul Mubarok – berkata, “Para malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan as-habul hadits/para ulama pembela hadits adalah penjaga-penjaga bumi.”

Mengenal Allah dengan benar merupakan gerbang untuk mengabdi kepada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya niscaya dia akan mencintai-Nya dan itu pasti.” Sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa kemuliaan suatu ilmu itu bergantung pada kemuliaan apa/objek yang diilmui. Oleh sebab itu ilmu tentang nama dan sifat Allah merupakan semulia-mulia ilmu; karena yang dipelajari adalah nama dan sifat dari Dzat yang paling mulia. Ilmu tentang Allah/aqidah tauhid merupakan pokok dari seluruh bidang ilmu (Silakan baca keterangan yang sangat bagus dalam kitab Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al Asma’ wa Shifat karya Syaikh Prof. Dr. Khalifah at-Tamimi, hal. 14 dst. cetakan Adhwa’ as-Salaf tahun 1419 H)

Demikian sedikit catatan yang Allah mudahkan bagi kami untuk menyusunnya, semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca di mana pun berada. Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Walhamdulillahi wahdah.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Selesai disusun di markas YPIA Pogungrejo Sinduadi Mlati Sleman – semoga Allah menjaganya –

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *