Manhaj

Pondasi Amalan

Bismillah.

Para ulama telah menjelaskan kepada kita mengenai pondasi bagi tegaknya suatu amal salih. Diantaranya adalah apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam Sahih-nya dengan bab ‘Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’.

Para ulama pun menjelaskan bahwa iman tidak akan terwujud dengan benar kecuali dengan pondasi ilmu yang sahih. Oleh sebab itu iman -baik yang mencakup keyakinan, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan- senantiasa butuh kepada pondasi ilmu dan siraman hidayah.

Di dalam al-Qur’an Allah pun menggambarkan iman seperti sebuah pohon yang akarnya kokoh tertanam di bumi dan cabang-cabangnya menjulang tinggi di langit. Maka ilmu bagi iman dan amal ketaatan laksana akar bagi sebatang pohon.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Amal tidaklah dikatakan salih kecuali apabila terpenuhi 2 syaratnya; ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selain diri-Ku niscaya Aku tinggalkan dia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Dari sinilah kita mengetahui bahwa iman, amal salih dan ketaatan tidak bisa tegak tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah hidayah dan wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang taat kepada beliau maka dia pasti mendapat hidayah. Barangsiapa yang tunduk mengikuti arahan beliau niscaya dia bahagia.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan bahwa barangsiapa yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya maka dia tidak akan tersesat ketika di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.

Para ulama juga menjelaskan bahwa sesungguhnya ilmu lebih diutamakan di atas amal-amal yang lain karena ia menjadi sarana untuk bertakwa kepada Allah. Inilah tujuan dan buah dari ilmu yang bermanfaat; yaitu terwujudnya ketakwaan kepada Allah dan penghambaan kepada-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Pada saat fitnah bergejolak dan kekacauan keyakinan telah merajalela maka takwa merupakan solusi bagi mereka yang ingin selamat di masa fitnah. Thalq bin Habib rahimahullah menerangkan bahwa takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.

Ilmu tentang Allah merupakan pokok segala ibadah dan pondasi keimanan. Kekuatan cinta, takut dan harapan kepada Allah yang menggerakkan amal salih dan ketakwaan kepada-Nya. Karena itulah Allah menyebutkan bahwa ciri para ulama adalah mereka yang takut kepada-Nya.

Rasa takut kepada Allah inilah yang akan menjaga hamba dari menerjang larangan atau meninggalkan kewajiban. Rasa takut kepada Allah pula yang akan mendorongnya untuk bertaubat dari dosa-dosa. Rasa takut kepada Allah pula yang akan membersihkan hatinya dari kotoran riya’, sum’ah dan ujub. Rasa takut kepada Allah ini pula yang membuatnya terus berdzikir dan bersyukur.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah dengan rasa takut kepada Allah.” Oleh sebab itu para ulama menyebut semua pelaku maksiat adalah bodoh atau jahil.

Sebagian ulama berkata, “Orang yang berakal itu mengenali hakikat dirinya dan tidak terpedaya oleh pujian/sanjungan dari orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk dirinya.”

Oleh sebab itu kita dapati para ulama salaf mengajarkan kepada kita ilmu yang membuahkan sifat tawadhu’ dan kejujuran. Jujur kepada Allah dan jujur kepada diri sendiri. Orang yang menyadari betapa kecil dan rendah dirinya di hadapan Allah dan betapa besar kebutuhannya kepada pertolongan dan hidayah Allah di sepanjang waktu dan bagian dari umurnya.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memberikan taufik kepada kita untuk meninggal di atas keimanan dan bertemu dengan-Nya dalam keadaan Allah ridha kepada kita… aamiin.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *