Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tidaklah diragukan, bahwa dakwah merupakan amal yang sangat utama. Karena dakwah merupakan tugas yang ada di pundak pengikut rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah, ‘Inilah jalanku. Aku mengajak -manusia- kepada Allah di atas bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108)
Sebagaimana amal-amal yang lain, dakwah juga termasuk dalam ibadah kepada Allah. Ibadah yang akan mendatangkan pahala apabila kita lakukan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110) Seorang da’i yang kehilangan ikhlas maka dia akan terjerumus dalam jurang kemusyrikan. Adapun da’i yang kehilangan ittiba’ alias tidak tunduk kepada tuntunan, maka dia akan terlempar ke dalam lubang kebid’ahan. Apalagi jika seorang da’i kehilangan kedua-duanya, tentu kerugian dan kesengsaraan yang didapat olehnya.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sementara mereka menyangka bahwa dirinya telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi : 103-104)
Seorang da’i harus melandasi amalnya dengan keikhlasan, walaupun ikhlas itu terasa berat dan pahit. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang salaf, “Tidaklah aku berjuang dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan demi meraih ikhlas.” Diantara mereka juga ada yang mengungkapkan, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih sukar daripada niatku, karena ia selalu berbolak-balik.”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, seorang yang ikhlas tidak gemar dengan ketenaran. Seorang yang ikhlas lebih mencintai Allah dan pahala akhirat daripada pujian manusia dan perbendaharaan dunia. Oleh karenanya seorang yang ikhlas akan berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia menutupi kesalahan dan dosanya. Sebagian salaf berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang suka menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.”
Disebutkan dalam hadits sahih, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat, diantaranya adalah, “Seorang lelaki yang bersedekah dengan suatu bentuk sedekah sambil dia menyamarkan/menyembunyikannya; sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adalah perkara yang tidak mudah, bagi seorang yang harus tampil di hadapan manusia -apakah sebagai pembicara atau panitia- untuk menjaga keikhlasan ini. Karena dia berhadapan dengan dua hal; kewajiban untuk ikhlas dan kewajiban untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Apabila seorang tidak bisa menjaga salah satunya tentu akan rusak niatnya atau rusak tugasnya; atau bahkan rusak kedua-duanya. Di sinilah dibutuhkan mujahadah/perjuangan untuk menundukkan nafsu dan ambisi-ambisi yang hina.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, sedangkan beramal untuk manusia adalah syirik.” Di sini, peran motivasi adalah sebagai penentu baik-tidaknya amalan. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan bagi setiap orang balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Orang yang ikhlas adalah yang motivasinya dalam beramal karena Allah, bukan karena pujian atau keuntungan dunia. Sebagaimana beramal karena ingin sanjungan adalah riya’, maka demikian pula meninggalkan amal karena ingin sanjungan ‘supaya dikatakan ikhlas atau tidak riya’; ini pun pada hakikatnya adalah riya’. Oleh sebab itu ikhlas bukan perkara yang ringan dan sepele. Sebagaimana dikatakan sebagian ulama, “Ikhlas itu mahal.” Sebagian yang lain mengatakan, “Sesuatu yang paling mahal/paling sulit di dunia ini adalah ikhlas.”
Ikhlas bukanlah ucapan seorang ‘insya Allah saya ikhlas’. Ikhlas itu bersemayam di dalam hati pelakunya. Bahkan di dalam sebagian riwayat dikatakan, bahwa ikhlas adalah perkara yang tidak diketahui oleh malaikat pencatat amalan sekalipun. Dari sinilah hendaknya setiap orang apalagi seorang da’i berjuang dan terus berjuang dalam mengikhlaskan amalnya untuk Allah. Allah tidak akan menerima amal kita kecuali yang ikhlas, hendaklah itu kita ingat baik-baik.
Kita tentu masih ingat tentang hadits tiga orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat dan dijadikan sebagai bahan bakar pertama api neraka. Ketiganya adaah orang-orang yang kehilangan ikhlas dari amal-amalnya, walaupun amal mereka secara lahiriah tampak besar, hebat, dan memukau. Bahkan, kita juga masih ingat hadits yang menceritakan orang yang su’ul khotimah; yaitu dia melakukan amal-amal yang tampak di mata manusia sebagai amal penghuni surga, namun di akhir hayatnya dia melakukan amal penghuni neraka sehingga dia pun masuk ke dalamnya.
Lantas, siapakah diantara kita yang merasa dirinya bebas dari riya’ dan syirik? Sebagian salaf bahkan mengatakan, “Barangsiapa yang ingin melihat orang yang riya’, maka lihatlah aku.” Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin memadukan antara ihsan/berbuat baik dengan merasa takut -akan amalnya- sedangkan orang kafir memadukan antara berbuat jelek dan merasa aman.”
Berapa sih amal kita jika dbandingkan dengan para Sahabat? Tentu tidak ada apa-apanya. Lha wong infak mereka yang satu mud (dua genggaman telapak tangan) saja tidak bisa ditandingi oleh infak emas orang sesudah mereka walaupun sebesar gunung Uhud! Meski demikian, mari kita lihat potret keikhlasan mereka. Ibnu Abi Mulaikah -seorang tabi’in- menceritakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.”
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Tidaklah aku membandingkan ucapanku dengan perbuatanku, melainkan aku khawatir aku menjadi orang yang didustakan.” Seperti apakah orang yang didustakan itu? Tidakkah kita ingat, hadits tiga orang yang pertama kali diadili di hari kiamat? Bukankah Allah berkata kepada mereka, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu begini dan begitu karena ingin sanjungan manusia…”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjaga keikhlasan jauh lebih berat daripada menunaikan amal itu sendiri. Oleh sebab itu, kita dapati para ulama salaf adalah orang-orang yang senantiasa menyadari kedudukan mereka di hadapan Allah; sebagai hamba yang fakir kepada-Nya dan penuh dengan kesalahan, bukan sebagai orang yang angkuh dan bermahkotakan kesombongan.
Suatu ketika dikabarkan kepada Imam Ahmad bin Hambal bahwa orang-orang memujinya. Maka beliau mengatakan kepada muridnya, “Apabila seorang telah mengenali jati dirinya maka tidak berguna baginya ucapan/pujian atau celaan manusia.” Sebagian ulama juga mengatakan, “Orang yang berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya dan tidak tertipu oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti seluk-beluk dirinya.”
Apa yang kita harapkan dari manusia? Bukankah manusia itu sama rendahnya seperti kita? Semua manusia -dan semua makhluk- butuh kepada Allah, sementara Allah tidak membutuhkan apa-apa dari mereka. Ingatlah syiar orang-orang salih yang dijadikan teladan dalam Kitabullah, “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian untuk mencari wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan ataupun ucapan terima kasih.”
Ingatlah, keutamaan amal apapun yang disebutkan di dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah maka itu akan lenyap dan sirna -bahkan berubah menjadi petaka- apabila tidak dibarengi dengan keikhlasan hati dan keimanan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapkan segala amal yang dahulu mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23)
Di dalam Al-Qaul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin rahimahullah telah mengingatkan, bahwa “perkara yang banyak merusak dakwah ini adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu”. Nah, bagaimana jadinya jika ketidakikhlasan itu juga disertai dengan ketiadaan ilmu; tentu kerusakan yang ditimbulkan akan lebih besar!
Oleh sebab itu wajib bagi para da’i untuk terus membersihkan niatnya dan senantiasa menimba ilmu agama. Bukankah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dalam hal agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
0 Komentar