Tauhid

Pengorbanan Nabi Ibrahim

Bismillah.

Diantara pelajaran yang sangat berharga dari ibadah kurban di bulan Dzulhijjah ialah semangat dan kekuatan seorang ahli tauhid dalam menghadapi berbagai bentuk cobaan. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah sosok yang telah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai panutan dan imam hunafa’/pemimpin ahli tauhid bagi generasi yang datang setelahnya.

Islam sebagai ajaran yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Rahman Rahim tentu memberikan dukungan dan motivasi bagi manusia dalam meraih kebahagiaan dan kemuliaan. Sehingga manusia bisa hidup dalam ketentraman dan keadilan. Diantara kunci utama untuk itu ialah dengan mewujudkan iman yang lurus dan tauhid yang murni dari segala kotoran syirik dan kemunafikan.

Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk/hidayah.” (al-An’am : 82)

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa untuk meraih keamanan dan hidayah dibutuhkan keimanan yang bersih dari kezaliman yaitu syirik. Apabila seorang hamba semakin bersih imannya dari syirik dan kezaliman lainnya niscaya keamanan dan hidayah yang dia peroleh juga semakin sempurna.

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah salah satu sosok manusia pilihan yang telah dijadikan sebagai uswah hasanah/teladan yang bagus di dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian uswah hasanah/teladan yang bagus pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala sesembahan kalian selain Allah…” (al-Mumtahanah : 4)

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla dalam surat az-Zukhruf (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini yaitu beribadah kepada Allah ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 7/225)

Allah berfirman (yang artinya), “Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Allah berfirman (yang artinya), “Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk’. Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (al-Baqarah : 135)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Ibadah kurban yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kemudian diperintahkan untuk dilanjutkan oleh kita sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah ibadah yang agung dan sarat dengan keutamaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb seru sekalian alam.” (al-An’am : 162)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya inilah yang disebut sebagai kesyirikan.

Oleh sebab itu tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri/amalan ibadah/ritual serta pengagungan kecuali kepada Allah. Tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin, setan, raja atau pemimpin/tokoh sebagai pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk perbuatan menujukan ibadah kepada selain Allah (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 153)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka sholatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (al-Kautsar : 3). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Artinya ikhlaskanlah untuk-Nya sholatmu dan sembelihanmu. Karena sesungguhnya orang-orang musyrik terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3/275)

Dengan demikian mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan haram dan dibenci Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim). Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)

Di sisi lain, dari pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kesabaran Isma’il ‘alaihis salam kita bisa melihat praktek ajaran tauhid yang begitu kokoh dan mulia. Bagaimana seorang ayah lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada anak dan keluarganya. Bagaimana seorang anak lebih mendahulukan perintah Allah di atas hawa nafsu dan perasaannya. Ini adalah potret kesabaran dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl : 120-121)

Millah Ibrahim ini -yaitu tauhid- merupakan hakikat ajaran segenap rasul kepada umatnya. Setiap nabi mengatakan kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 59). Setiap rasul pun menyerukan kepada umatnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Hakikat ajaran tauhid ini adalah dengan menghadapkan hati kepada Allah semata dan berpaling dari segala sesembahan dan pujaan selain-Nya (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 11)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, cet. Mu’assasah Qurthubah, hal. 29)

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan. Seorang hamba disebut sebagai abdi (hamba) karena perendahan diri dan ketundukannya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 10)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibadah dalam terminologi syari’at adalah ungkapan mengenai satu kesatuan perbuatan yang memadukan kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/134 cet. Dar Thaibah)

yaikh Sulaiman al-Hamdan rahimahullah menerangkan, bahwasanya ibadah merupakan sebuah kesatuan yang memadukan kesempurnaan cinta dan puncak ketundukan. Cinta tanpa ketundukan bukanlah ibadah. Demikian pula ketundukan tanpa cinta bukan ibadah (ad-Durr an-Nadhidh, hal. 9)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga mereka tergolong sebagai orang musyrik. Bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik…” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mengapa syirik disebut sebagai kezaliman? Karena pada asalnya zalim itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan syirik maknanya adalah meletakkan ibadah bukan pada tempatnya, dan ini adalah sebesar-besar kezaliman. Karena mereka telah meletakkan ibadah pada sesuatu yang bukan berhak menerimanya. Mereka menyerahkan ibadah kepada yang tidak berhak mendapatkannya. Mereka menyamakan makhluk dengan Sang pencipta. Mereka mensejajarkan sesuatu yang lemah dengan Dzat yang Maha kuat yang tidak terkalahkan oleh sesuatu apapun. Apakah setelah ini masih ada kezaliman lain yang lebih besar?” (lihat I’anatul Mustafid, 1/77)

Segala yang disembah selain Allah disebut sebagai ‘thaghut’ baik berupa patung, berhala, kuburan, atau tempat keramat. Akan tetapi apabila orang atau makhluk yang disembah tidak ridha dengan penyembahan itu maka ia tidak dinamakan thaghut. Semacam Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, hamba-hamba yang salih seperti Hasan dan Husain serta para wali Allah, mereka tidak disebut sebagai thaghut. Meskipun demikian penyembahan kepada mereka tetap disebut ibadah kepada thaghut yang dalam hal ini adalah setan; karena sesungguhnya setan itulah yang memerintahkan perbuatan itu (lihat I’anatul Mustafid, 1/36)

Dalam merealisasikan tauhid tidak cukup dengan meninggalkan syirik. Akan tetapi harus melakukan sesuatu yang lebih daripada itu, yaitu berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…” (al-Mumtahanah : 4) (lihat Maqashid Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Syaikh Dr. ‘Isa bin Abdillah as-Sa’di hafizhahullah)

Di samping itu, salah satu pelajaran penting dalam tauhid adalah dalil yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid; ketika beliau membawakan ayat yang mengisahkan isi doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya. Ibrahim berkata (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim : 35)

Kalau Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang telah menghancurkan berhala dengan tangannya dan mendapat gelar Khalil ar-Rahman (orang yang paling dikasihi Allah) saja masih sedemikian takut terjerumus dalam syirik, lantas bagaimana lagi dengan kita?

Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan alasan mengapa Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari pemujaan kepada berhala. Beliau berkata, “..hal itu karena beliau mengetahui bahwasanya tidak ada yang bisa memalingkan dirinya dari terjerumus dalam hal itu kecuali Allah dengan hidayah dan taufik dari-Nya, bukan dengan daya dan kekuatan dari dirinya sendiri.” (lihat Qurratu ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 32)

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Tidaklah merasa aman dari terjerumus di dalam syirik melainkan orang yang jahil/tidak paham tentang hal itu, sebagaimana dia juga tidak mengerti hakikat ilmu tentang Allah (ma’rifatullah) dan ajaran Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kewajiban mentauhidkan-Nya dan larangan syirik kepada-Nya.” (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 50)

Dari sinilah kita bisa mengetahui bahwa segala pengorbanan dan perjuangan tauhid yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada kita adalah berakar dari ketundukan dan pengagungan di dalam hati. Ia terlahir dari aqidah yang kuat, cinta yang tulus, ikhlas, sabar, syukur, takut dan harapan. Sekaligus mencerminkan tawakal yang murni kepada Allah semata… Wallahul muwaffiq.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *