Penyucian Jiwa

Pengakuan Dosa

Bismillah.

Diantara pelajaran penting yang tersimpan dalam istighfar adalah kesadaran bahwa kita sebagai manusia memiliki banyak kesalahan dan dosa. Karena itulah kalimat istighfar termasuk wirid yang paling banyak dibaca. Setiap kali selesai sholat dianjurkan istighfar 3 x. Setelah selesai pertemuan dianjurkan membaca do’a kaffaratul majelis yang di dalamnya juga terkandung istighfar.

Istighfar yang sempurna adalah istighfar yang disertai dengan taubat kepada Allah. Sebagaimana dijelaskan para ulama bahwa salah satu syarat diterimanya taubat adalah mengakui kesalahan. Orang yang bertaubat juga harus menyesali dosanya; lalu bagaimana mungkin dia menyesali suatu perkara yang dia tidak mengakui hal itu sebagai kesalahan.

Di dalam sayyidul istighfar pun dengan tegas disebutkan kalimat ‘wa abuu’u bi dzanbii’ yang artinya, “Dan aku mengakui atas segala dosaku…” Ini merupakan bentuk kesadaran dan kejujuran hamba kepada Allah. Betapa kita butuh akan kesadaran ini dalam kehidupan sehari-hari. Kita adalah manusia yang sangat berpotensi terjatuh dalam berbagai bentuk dosa dan kesalahan; baik yang berhubungan dengan hak Allah ataupun yang berkaitan dengan hak sesama makhluk.

Para ulama menjelaskan bahwa diantara buah kesadaran ini adalah tumbuhnya perendahan diri kepada Allah; yang itu merupakan salah satu pilar utama dalam ibadah dan penghambaan kepada-Nya. Sebab ibadah kepada Allah itu berkembang dari 2 poros utama; puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Puncak kecintaan muncul dari melihat berbagai bentuk nikmat yang Allah berikan, sedangkan puncak perendahan diri muncul dari memperhatikan dan menyadari segala bentuk aib pada diri dan amalan kita.

Ibadah kepada Allah bukanlah ketaatan yang hanya lahir dari kecintaan dan harapan. Akan tetapi ia juga bentuk perendahan diri dan ketundukan yang berangkat dari rasa takut dan pengagungan kepada-Nya. Apabila kecintaan itu membuahkan amal salih dan ketaatan, maka rasa takut dan pengagungan itulah yang akan menghancurkan akar kesombongan dan benih-benih kemaksiatan.

Sebagaimana makna takwa yang dijelaskan oleh Thalq bin Habib rahimahullah, bahwa takwa adalah anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan anda meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan hukuman Allah.

Manusia diberi petunjuk wahyu oleh Allah -melalui para rasul- sehingga dengan itu mereka bisa membedakan antara jalan kebenaran dan jalan kebatilan. dengan ilmu akan terbedakan mana yang perkara ma’ruf dan mana yang mungkar. Seorang tidak dikatakan sebagai fakih atau ‘aalimhanya karena dia bisa membedakan kebaikan dan keburukan. Lebih daripada itu orang yang benar-benar berilmu adalah yang mengikuti kebenaran dan meninggalkan keburukan.

Karena itulah para ulama menyebut semua orang pelaku maksiat sebagai orang yang jahil/bodoh. Terlepas dari apa pun gelar akademik dan jenjang pendidikan yang telah dilaluinya. Dari sinilah seorang hamba akan mengerti bahwa hakikat ilmu yang Allah kehendaki pada kita adalah ilmu yang membuahkan rasa takut kepada-Nya, ilmu yang menumbuhkan sifat tawadhu’ dan mengikis segala bentuk kesombongan.

Orang yang ketika bertemu orang lain bisa mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa bisa jadi orang lain itu lebih baik darinya; karena bisa jadi orang itu memiliki amal-amal kebaikan tersembunyi yang tidak dia ketahui. Hal ini tidak mungkin muncul pada diri orang yang merasa dirinya selalu bersih dari dosa dan kesalahan. Hal ini hanya akan tumbuh pada orang-orang yang menyadari bahwa ada banyak aib dan kekurangan pada amal ketaatan dan perilakunya sehari-hari.

Rahasia dari sikap ini adalah tidaklah hamba itu melihat Rabbnya kecuali dalam keadaan sebagai Dzat yang senantiasa berbuat ihsan/kebaikan dan mencurahkan nikmat kepada hamba-Nya, dan tidaklah dia melihat dirinya kecuali dalam keadaan penuh dengan kekurangan dan kerapkali berbuat kekeliruan. Karena hak-hak Allah itu teramat agung dan teramat besar untuk bisa ditunaikan oleh manusia dengan semestinya…

Dalam istilah bahasa Jawa, kondisi semacam ini disebut dengan kalimat ‘bisa rumangsa’ atau ‘ngrumangsani’ yang artinya dia bisa merasakan dan menyadari kedudukan dirinya yang begitu kecil dan butuh kepada Allah Yang Mahabesar. Sehingga dia bukan menjadi orang yang ‘rumangsa bisa’ yaitu yang merasa dirinya hebat dan kuat serta memiliki berbagai keunggulan dan jasa kepada Rabbnya…

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk menyadari kesalahan dan kekurangan kita dalam mengabdi kepada Allah dan memperbaiki sisa-sisa umur kita.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *