AqidahBelajar Jarak JauhIkhlas

Mengenal Tauhid [Bagian 45]

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita dipertemukan kembali untuk bersama-sama melanjutkan pembahasan mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian sebelumnya, kita telah membaca dalil pertama yang dibawakan oleh beliau di dalam bab tafsir tauhid dan syahadat laa ilaha illallah.

Di dalam dalil tersebut -surat al-Israa’ ayat 57- terkandung pelajaran bahwa sesungguhnya apa-apa yang disembah atau menjadi tujuan doa selain Allah berupa orang salih, wali, atau malaikat dan jin; mereka semuanya adalah hamba Allah. Mereka justru mencari jalan untuk bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Hal itu memberikan faidah bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Inilah makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah.

Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah adalah yang maha benar, sedangkan apa-apa yang mereka seru selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62). Oleh sebab itu menjadi sebuah kekeliruan apabila kalimat laa ilaha illallah ini diartikan dengan tidak ada pencipta selain Allah atau tidak ada pembuat hukum kecuali Allah. Sebab makna-makna ini adalah bukan tujuan utama dari kalimat tauhid. Tujuan utama dari kalimat tauhid adalah menyeru manusia untuk mempersembahkan ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan syirik.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila.” (ash-Shaffat: 35-36)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka [orang-orang musyrik Quraisy] merasa keheranan terhadap seorang pemberi peringatan yang muncul dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu pun berkata: ‘Dia ini adalah penyair lagi tukang dusta. Apakah dia hendak menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini menjadi satu sesembahan saja? Tentu saja ini adalah perkara yang sangat mengherankan’.” (Shaad: 4-5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat. Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan kepada dirinya.” (al-Ahqaf: 5-6)

Memurnikan Ibadah kepada Allah

Termasuk bentuk ibadah yang harus dimurnikan kepada Allah adalah doa. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60). Ayat ini memberikan faidah bahwa doa adalah ibadah, dan barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah maka itu berarti dia telah berbuat syirik.

Allah melarang dengan tegas perbuatan berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 19). Oleh sebab itu segala bentuk doa; apakah itu untuk meminta keselamatan, meminta perlindungan atau meminta dilancarkan rezeki dan semacamnya tidak boleh ditujukan kepada selain Allah; apa pun bentuknya atau siapa pun dia. Inilah yang telah ditegaskan di dalam ayat (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Inilah kandungan dari kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in; hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepad-Mu kami meminta pertolongan. Kalimat iyyaka na’budu bermakna kita tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah, dan kalimat wa iyyaka nasta’in bermakna kita tidak meminta pertolongan -dalam hal-hal yang hanya dikuasai Allah- kepada selain Allah. Kalimat pertama mengandung konsekuensi menolak segala bentuk tindakan mempersekutukan Allah dalam beribadah, dan kalimat kedua mengandung konsekuensi tidak menggantungkan hati kepada selain Allah. Kalimat iyyaka na’budu semakna dengan kalimat laa ilaha illallah, dan kalimat wa iyyaka nasta’in semakna dengan kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah.

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir: 60) (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3372] dinyatakan sahih oleh al-Albani)  

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1856])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (Yunus: 106)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberikan nasehat kepadanya, ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (Luqman: 13)

Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang telah mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hlm. 19-20 oleh Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi)  

Surat al-Fatihah mengandung pelajaran yang sangat berharga dalam ilmu tauhid. Di dalamnya Allah berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (al-Fatihah). Makna ayat itu adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu semata ya Allah dalam beribadah dan kami mengesakan-Mu semata dalam hal meminta pertolongan’. Oleh sebab itu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak meminta pertolongan kecuali kepada-Nya. Ini merupakan tauhid kepada Allah dalam hal ibadah (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayati Suratil Fatihah, hlm. 14)

Kalimat ‘iyyaka na’budu’ merupakan perealisasian dari kalimat tauhid laa ilaha illallah, sedangkan kalimat ‘iyyaka nasta’in’ mengandung perealisasian dari kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah. Karena laa ilaha illallah mengandung pengesaan Allah dalam hal ibadah, dan laa haula wa laa quwwata illa billah mengandung pengesaan Allah dalam hal isti’anah/meminta pertolongan (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah, hlm. 15)

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian ibadah untuk Allah semata. Sehingga di dalamnya pun terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hlm. 183)

Berlepas Diri dari Sesembahan Selain Allah

Setelah membawakan dalil dari surat al-Israa’ ayat 57 maka Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan dalil berikutnya yang menunjukkan wajibnya berlepas diri dari segala sesembahan selain Allah. Dan ini merupakan kandungan makna dari kalimat laa ilaha illallah.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah, tatkala Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Yang Menciptakanku…” (az-Zukhruf: 26). Ayat ini mengandung makna laa ilaha illallah. Dimana di dalamnya terkandung sikap berlepas diri dari sesembahan selain Allah dan menetapkan ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Sebab maksud dari ucapan Ibrahim itu adalah meninggalkan ibadah kepada berhala dan berlepas diri darinya serta memurnikan ibadah kepada Allah semata (lihat I’anatul Mustafid oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, 1/177) 

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87)

Allah berfirman (yang artinya), “Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk’. Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (al-Baqarah : 135)

Allah berfirman (yang artinya), “Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari -pujaan/sesembahan- selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (an-Nahl : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (al-An’am : 161)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Para nabi itu adalah [seperti] saudara-saudara sebapak sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Faidah Yang Bisa Dipetik

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah, tatkala Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Yang Menciptakanku…” (az-Zukhruf: 26). Ayat yang agung ini mengandung pelajaran antara lain:

Pertama; Ayat ini menunjukkan bahwa umat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menyembah Allah, hanya saja mereka juga menyembah selain-Nya/mempersekutukan-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 73). Sesembahan selain Allah itu berupa: patung-patung, matahari, bulan, dan bintang-bintang (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/94]).

Kedua; Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hlm. 32). Karena tauhid tidak akan terwujud dengan cara beribadah kepada Allah dan juga kepada selain-Nya, oleh sebab itu wajib beribadah kepada Allah saja (lihat al-Qaul al-Mufid [1/95])

Ketiga; Wajib berlepas diri dari syirik (lihat al-Jadid, hlm. 73). Oleh sebab itu setiap rasul mengajak kaumnya dengan satu seruan, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (an-Nahl: 36)

Keempat; Berterus terang dalam menyampaikan kebenaran merupakan salah satu karakter para rasul utusan Allah (lihat al-Jadid, hlm. 73)

Kelima; Manusia dapat dibagi menjadi tiga golongan: sebagiannya menyembah kepada Allah saja, sebagian lagi menyembah kepada selain-Nya saja, dan sebagian lagi menyembah kepada Allah dan juga kepada selain Allah. Maka yang disebut dengan muwahhid (orang yang bertauhid) itu adalah golongan yang pertama saja; yaitu yang beribadah kepada Allah saja dan tidak kepada selain-Nya (lihat al-Qaul al-Mufid [1/95])  

Keenam; Pokok ajaran agama seluruh para nabi adalah satu/sama yaitu tauhid (lihat al-Jadid, hlm. 73). Hakekat dari tauhid itu adalah pengetahuan dan pengakuan mengenai keesaan Rabb -yaitu Allah- dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan memurnikan -segala macam- ibadah hanya untuk-Nya. Sedangkan hal ini -tauhid- dibangun di atas dua pondasi; yaitu menolak segala sesembahan selain Allah -artinya tidak ada di antara mereka yang berhak diibadahi- dan menetapkan bahwasanya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah (lihat al-Qaul as-Sadid, hlm. 31).

Oleh sebab itu ayat ini merupakan bantahan bagi kaum Liberal dan Pluralis yang mengklaim bahwa inti ajaran Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah sama yaitu monotheisme/tauhid, sampai-sampai mereka mempropagandakan istilah ‘tiga agama satu tuhan’ atau Abrahamic Religion demi menipu orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa…

Ketujuh; Wajib mengingkari kemungkaran meskipun terhadap sanak kerabat sendiri (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 73). Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka dengan lisannya, kalau tidak mampu juga maka cukup dengan hatinya dan itulah bentuk keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)

Kedelapan; Di dalam ayat ini dipakai ungkapan “Kecuali yang menciptakanku” bukan “Kecuali Allah”.  Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa hal ini mengandung dua faedah: [1] Isyarat yang menunjukkan wajibnya menyembah Allah semata; yaitu karena Allah semata yang menciptakan maka hanya Allah yang berhak diibadahi. [2] Isyarat yang menunjukkan batilnya peribadatan kepada berhala -ataupun sesembahan selain Allah yang lainnya- karena ia tidak mampu menciptakan (lihat al-Qaul al-Mufid [1/95])

Demikian sekelumit faidah yang bisa disajikan, mudah-mudahan bermanfaat.   

# Penyusun : www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *