Belajar Jarak JauhIkhlasTauhid

Mengenal Tauhid [Bagian 35]

Bismillah.

Alhamdulillah bisa bertemu kembali dalam seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya telah kita bawakan sebuah hadits yang disebutkan oleh Syaikh di dalam bab rasa takut terhadap syirik. Hadits itu berisi peringatan dari bahaya syirik ashghar yaitu riya’. Riya’ adalah beramal karena ingin mengharapkan sanjungan dari orang yang melihatnya, demikian pula sum’ah adalah beramal karena ingin pujian dari pendengarnya. Baik riya’ ataupun sum’ah adalah dosa besar karena ia telah mempersekutukan Allah dalam hal niat melakukan amalan.

Allah tidak menerima amalan yang tercapuri riya’ atau sum’ah. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Allah hanya akan menerima amalan yang ikhlas. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Orang yang ikhlas dalam beramal dan mengikuti tuntunan itulah yang akan diterima amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Yang terbaik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah dan benar jika mengikuti sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Amal yang tidak ikhlas atau tercampuri syirik akan sia-sia bahkan membuahkan mapaletaka. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap amal-amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Sesungguhnya amal itu berbeda-beda keutamaan dan pahalanya disebabkan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya berupa keimanan dan keikhlasan. Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil juga karena niatnya.”

Oleh sebab itu kita dapati para ulama sangat perhatian dalam masalah niat dan keikhlasan ini. Sampai-sampai tidak jarang kita jumpai mereka membawakan hadits innamal a’maalu bin niyaat di awal-awal kitabnya, untuk mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan niat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari dalam Sahihnya dan an-Nawawi dalam Arba’in-nya. Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan, “Tidaklah Aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih ikhlas.”

Riya’ dalam beramal merupakan salah satu sifat orang yang imannya lemah atau menyimpang, sebagaimana kaum munafikin yang apabila mereka itu sholat maka mereka bermalas-malasan, mereka hanya ingin mencari pujian dari manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. Beramal karena mencari pujian atau kedudukan di mata manusia adalah sebuah kebodohan. Akibat dari beramal karena manusia adalah akan membuat kita menyandarkan hati kepada makhluk; padahal makhluk tidaklah menguasai apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari.

Salah satu cara agar bisa terhindar dari riya’ itu adalah dengan menyembunyikan amalan-amalan yang bisa disembunyikan, tidak perlu menampakkannya kepada manusia. Hal itu lebih dekat kepada keikhlasan. Sebagaimana dikisahkan dalam hadits tentang tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, diantaranya adalah, “Seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” dan juga, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian, Syaikh rahimahullah membawakan hadits berikutnya yang menunjukkan wajibnya merasa takut dari syirik. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan menyeru’berdoa/beribadah kepada sesembahan/tandingan selain Allah maka dia masuk neraka.” (HR. Bukhari)

Hadits ini memberikan pelajaran :

Pertama; menanamkan rasa takut dari melalukan syirik dan dorongan untuk segera bertaubat darinya sebelum kematian tiba.

Kedua; segala yang disembah selain Allah apakah itu berupa nabi, wali -hidup atau mati- atau batu dan pohon maka sesungguhnya ia telah diangkat sebagai tandingan bagi Allah.

Ketiga; syirik tidak akan diampuni kecuali dengan taubat (lihat al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 48)

Setelah itu beliau juga membawakan hadits dari Jabir radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu maka dia masuk surga dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun maka dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)

Hadits ini memberikan faidah :

Pertama; wajibnya merasa takut dari syirik karena selamat dari neraka itu disyaratkan harus bersih dari syirik.

Kedua; bukanlah yang menjadi ukuran adalah dengan banyaknya amalan tetapi yang dijadikan ukuran adalah bersihnya amal itu dari syirik.

Ketiga; penjelasan makna laa ilaha illallah yaitu mengandung sikap meninggalkan syirik dan mengesakan Allah dalam hal beribadah.

Keempat; betapa dekatnya surga dan neraka dari seorang hamba; sebab tidak ada yang menghalangi dirinya dari keduanya selain dengan datangnya kematian.

Kelima; keutamaan orang-orang yang bersih dari syirik. (lihat al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hlm. 50)

Intinya kedua hadits di atas mengingatkan kita akan kematian dalam keadaan yang buruk yaitu mati dalam keadaan musyrik. Tentu kita tidak ingin mati dalam keadaan musyrik. Oleh sebab itu setiap jum’at kita sering mendengar para khotib membacakan ayat (yang artinya), “…dan janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (Ali ‘Imran : 102)

Oleh sebab itu marilah kita gunakan masa hidup kita dengan iman dan amal salih agar kita bisa meninggal di atas tauhid dan ketaatan. Mari kita gunakan masa muda dalam kebaikan sebelum datang masa tua dimana tubuh kita sudah menjadi lemah dan kehilangan kekuatan. Mari gunakan masa sehat sebelum datang masa sakit. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk bertaubat dari segala dosa dan kesalahan dan menerima amal-amal kita di hari pembalasan.

# Penyusun : www.al-mubarok.com

 

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *