Bismillah.

Di dalam Kitab Tauhid, penulis memulai kitabnya dengan menyebutkan beberapa ayat yang menjelaskan tentang tauhid. Berikut ini 3 ayat pertama yang beliau bawakan.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik…” (al-Isra’ : 23)

Di dalam ketiga ayat ini terkandung penjelasan hakikat tauhid. Bahwa tauhid yang dimaksud di sini -dan itulah tauhid yang menjadi pondasi agama Islam- adalah tauhid ibadah; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah. Kita wajib beribadah kepada Allah dan meninggalkan semua sesembahan selain-Nya. Inilah ajaran yang dibawa oleh setiap rasul kepada umatnya. Dan ini pula tujuan Allah menciptakan jin dan manusia di muka bumi ini.

Ketiga ayat itu juga menunjukkan wajibnya tauhid, bahkan tauhid inilah kewajiban terbesar di dalam Islam. Ia lebih utama dan lebih wajib daripada kewajiban-kewajiban yang lain semacam berbakti kepada kedua orang tua. Kewajiban bertauhid ini tidak akan bisa terwujud kecuali dengan memperingatkan umat dari bahaya syirik. Oleh sebab itu setiap rasul memerintahkan umatnya untuk menjauhi thaghut/sesembahan selain Allah. Hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa hakikat agama para nabi dan rasul itu adalah satu yaitu tauhid. Tauhid inilah hak Allah atas setiap hamba. Karena hanya Allah yang telah menciptakan mereka maka tidak ada yang boleh mereka sembah selain Allah semata. Oleh sebab itu tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.

Dari sinilah kita bisa memahami maksud perkataan para ulama semacam Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa, “Setiap ayat yang menyebutkan perintah beribadah maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid.” Dengan bahasa lain, tidaklah disebut orang yang bertauhid kecuali apabila dia menujukan seluruh ibadahnya kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.

Kitab Tauhid yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini -sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Bin Baz– berisi tentang :

– Penjelasan hakikat tauhid

– Penjelasan hakikat syirik

– Bantahan bagi para pelaku syirik

– Penjelasan bahwa ibadah itu adalah hak Allah semata

– Kewajiban memurnikan ibadah untuk Allah

– Kewajiban mewaspadai segala jenis syirik; besar maupun kecil

– Penjelasan berbagai celah yang mengantarkan kepada syirik

– Penjelasan seputar bid’ah dan maksiat yang bisa merusak dan menodai tauhid

(lihat Syarh Kitab Tauhid, hlm. 16)

Dan diantara keindahan ajaran tauhid yang ditunjukkan oleh penulis di dalam kitabnya ini adalah beliau mengawali tulisannya dengan basmalah; yaitu kalimat bismillahirrahmanirrahiim yang artinya ‘dengan menyebut nama Allah yang mahapengasih lagi mahapenyayang.’ Hal itu disebabkan di dalam kalimat ini terkandung isti’anah/meminta tolong kepada Allah dan tabarruk/mencari berkah/kebaikan yang banyak dengan menyebutkan nama-nama Allah/asma’ul husna.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah :

– Agar mereka beribadah kepada-Nya

– Dalam rangka memberikan ujian dan cobaan kepada mereka; siapa yang terbaik amalnya

– Supaya mereka mengetahui keagungan sifat-sifat Allah

Dengan tujuan itu pula Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Setiap rasul mendakwahkan kalimat tauhid laa ilaha illallah, bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Dan setiap rasul juga melarang peribadatan kepada selain Allah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyatakan dalam risalahnya yang lain, “Bahwasanya Allah tidak ridha dipersekutukan dengan-Nya sesuatu pun dalam hal ibadah kepada-Nya; baik itu malaikat yang dekat -dengan Allah- ataupun seorang nabi yang diutus.”

Beliau juga mengatakan, “Dan perkara terbesar yang diperintahkan oleh Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang dilarang oleh Allah adalah syirik yaitu berdoa kepada selain-Nya bersama -doa/ibadah- kepada-Nya.”

Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya alhanifiyah yaitu millah/agama Ibrahim adalah anda beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya, dan dengan itulah Allah perintahkan kepada seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka karenanya.”

Ayat-ayat yang dibawakan oleh penulis juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya para rasul tidaklah mengajak umat untuk mengakui tentang keesaan Allah dalam hal mencipta, mengatur dan menguasai alam semesta; karena hal ini suatu hal yang sudah diyakini oleh kaum musyrikin. Akan tetapi mereka mengajak umat untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Adapun tauhid rububiyah -yaitu keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta, pemelihara dan pengatur alam- maka hal ini tidaklah ditolak oleh kaum musyrikin.

Ayat yang dibawakan oleh penulis juga memberikan faidah bagi kita bahwa pada hakikatnya segala bentuk syirik -dalam hal ibadah- merupakan peribadatan kepada thaghut. Hal ini juga memberikan pelajaran bahwa semua rasul datang untuk memerintahkan beribadah kepada Allah dan melarang dari perbuatan syirik, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah.

Oleh sebab itu tidak cukup seorang melakukan ibadah kepada Allah tanpa menjauhi thaghut dan tanpa berlepas diri dari syirik dan orang musyrik. Tujuan dakwah tauhid ini pun telah dipahami oleh umat-umat terdahulu yang menolak dakwah para rasul. Mereka paham bahwa para rasul itu menyerukan kewajiban untuk memurnikan ibadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu mereka mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang mengherankan.” (Shad : 5)

Dengan demikian orang-orang musyrik terdahulu mengetahui konsekuensi dari kalimat laa ilaha illallah sementara orang-orang yang menyembah kubur pada masa kini -yang mendaku sebagai muslim- ternyata tidak mengetahui makna laa ilaha illallah! Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bahkan ulama mereka yang mendalam pengetahuannya mengenai fikih, nahwu, tafsir dan hadits pun tidak mengetahui makna laa ilaha illallah. Oleh sebab itulah mereka tidak mengingkari peribadatan kepada kuburan…” (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin, hlm. 20)

Sungguh indah kalimat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya yang lain, “Sesungguhnya ibadah tidaklah dikatakan ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat kecuali bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik masuk pada ibadah maka ia menjadi rusak, sebagaimana hadats yang menimpa pada thaharah…”

Demikian sedikit catatan yang bisa dikumpulkan dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Penyusun : Redaksi al-mubarok.com

Baca seri artikel sebelumnya di sini [klik]


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *