Bersaudara Karena Iman

Bismillah.

Di dalam al-Qur’an, Allah menyebut bahwa kaum beriman itu bersaudara. Dari sini kita bisa menarik simpul yang sangat menarik antara ukhuwah dengan aqidah. Tidak ada ukhuwah tanpa aqidah. Itulah makna yang tersirat dari ungkapan ‘sesungguhnya kaum beriman adalah bersaudara’.

Di dalam Kitab-Nya, Allah juga menyebut bahwa kaum beriman satu sama lain adalah wali/penolong dan pelindung bagi sebagian yang lain; mereka memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Di dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menafikan kesempurnaan iman pada diri seorang yang tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya sesama muslim.

Di dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengisahkan tentang 7 golongan manusia yang akan diberi naungan pada hari kiamat, salah satunya adalah ‘dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah; mereka bertemu karena-Nya dan berpisah karena-Nya’ (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini semakin memperjelas bagi kita bahwa sesungguhnya ikatan yang menyatukan kaum muslimin adalah ikatan aqidah dan keimanan, bukan ikatan yang dijalin dengan kepalsuan dunia dan segala perhiasannya. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang saling mengasihi (al-akhillaa’) pada hari kiamat akan saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa; yaitu mereka yang tunduk kepada perintah dan larangan Rabbnya.

Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain laksana sebuah bangunan; dimana sebagian memperkuat bagian yang lain.” (HR. Bukhari). Begitu pula kerjasama tidaklah dibangun diantara manusia kecuali jika dilandasi dengan kebaikan dan ketakwaan. Sebab tidak boleh menjalin kerjasama di atas dosa dan pelanggaran. Karena itu di dalam al-Qur’an juga terkandung isyarat untuk saling membantu dalam kebenaran dan kesabaran. Sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta sabar dalam menghadapi pahitnya musibah dan bencana yang menimpa.

Iman memiliki pokok dan cabang-cabang, sebagaimana sebatang pohon yang memiliki pokok dan cabang-cabang. Pokok keimanan ada pada tauhid kepada Allah, dan inilah yang menjadi asas ukhuwah islamiyah. Tauhid inilah yang menyatukan dan mempersaudarakan umat Islam; bukan karena madzhab fiqih, organisasi dan yayasan. Tauhid menuntut seorang muslim untuk mencintai apa-apa yang Allah cintai dan membenci apa-apa yang Allah benci. Allah mencintai iman dan kaum beriman maka kita juga harus mencintai iman dan kaum beriman. Sebagaimana Allah menanamkan kebencian ke dalam hati kita terhadap kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Persaudaraan di atas iman, inilah yang dicontohkan oleh para sahabat kepada generasi sesudahnya. Mereka saling menyayangi diantara mereka dan tegas kepada kaum kafir. Bahkan mereka rela mendahulukan kepentingan dunia untuk saudaranya di atas kepentingan dirinya sendiri, padahal sebenarnya mereka juga sangat membutuhkan. Itsar/mendahulukan saudaranya inilah buah dari tertanamnya aqidah di dalam hati seorang hamba. Sebab dia lebih meyakini apa-apa yang ada di tangan Allah daripada apa-apa yang ada di tangan mahkluk-Nya. ‘Apa yang di sisi kalian akan sirna, sedangkan apa yang ada di sisi Allah pasti kekal dan lebih langgeng’.

Seorang yang tidak memahami hakikat ukhuwah imaniyah ini akan membangun interaksinya dengan sesama seperti penjahat. Dia rela membuat murka Allah hanya demi mencari keridhaan manusia. Jika diberi kesenangan dunia mereka ridha, dan jika tidak diberi maka mereka pun murka. Cinta dan bencinya dibangun di atas kepentingan dunia belaka. Bagi mereka, dunia adalah segala-galanya; bersatu dan berkumpul karena dunia. Berpisah dan berpecah pun karenanya.

Sungguh berbeda dengan keadaan salafus shalih yang menjalin kebersamaan di atas landasan aqidah. Maka janganlah heran apabila seorang anak membenci ayahnya sendiri semata-mata karena ayahnya seorang munafik berat pembenci ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sang anak datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ijin untuk memenggal leher ayahnya, tetapi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan dan melarangnya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *