Bentuk Jihad Yang Spesial

Bismillah.

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa jihad itu ada dua macam; jihad dengan tangan dan pedang, dan jihad dengan hujjah/dalil dan keterangan/ilmu. Jenis jihad yang pertama bisa dilakukan oleh banyak kalangan. Adapun jihad yang kedua hanya bisa ditegakkan oleh orang-orang khusus diantara pengikut rasul; inilah jihadnya pada imam/ulama dan seutama-utama jihad diantara keduanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan berjihadlah melawan mereka dengan hal itu, sebagai suatu jihad yang agung.” (al-Furqan: 52). Ayat ini turun di Mekah, oleh sebab itu para ulama menafsirkan ‘berjihad dengan hal itu’ di dalam ayat ini maknanya ‘berjihad dengan al-Qur’an’. Inilah bentuk jihad terhadap orang kafir dan kaum munafikin. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa berjihad melawan kaum munafik adalah dengan hujjah dan al-Qur’an. Demikian keterangan beliau secara ringkas (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/271])

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa ilmu adalah pemimpin atas amal dan pengendali atasnya. Adapun amal adalah pengikutnya. Setiap amal yang tidak berjalan mengikuti ilmu tidak akan memberikan manfaat bagi pelakunya. Bahkan amal semacam itu justru membahayakan dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/302-303])

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan bahwa ilmu didahulukan sebelum ucapan dan amalan. Apabila ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amalan niscaya pelaku amalan itu akan diberkahi meskipun sedikit yang dia lakukan. Sebaliknya, apabila amalan dan ucapan itu lebih didahulukan sebelum ilmu -artinya dia bertindak tanpa ilmu yang mendasari- maka bisa jadi amalan itu besar-besar laksana gunung tetapi ia tidak berada di atas jalan keselamatan (lihat keterangan Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah dalam Syarh Tsalatsah al-Ushul, hlm. 27)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk: 2). Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan bahwa yang terbaik amalnya maksudnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar/sesuai dengan tuntunan. Padahal, tidak mungkin seorang memadukan kedua sifat ini -yaitu ikhlas dan mengikuti tuntunan- apabila tidak dilandasi dengan ilmu. Sebab ilmu adalah petunjuk menuju ikhlas dan petunjuk agar bisa sesuai dengan tuntunan (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/303])

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa kemuliaan suatu ilmu bergantung pada kemuliaan objek yang dipelajari. Dengan demikian, tidaklah diragukan bahwa ilmu tentang Allah, nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya merupakan ilmu yang paling utama dan paling mulia. Inilah pokok dan sumber segala ilmu. Barangsiapa yang mengenal Allah niscaya dia akan mengenali apa-apa selain-Nya. Barangsiapa yang bodoh/tidak mengenali Rabbnya maka tentu terhadap apa-apa selain-Nya dia jauh lebih tidak mengerti/bodoh (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/311-312])

Suatu ketika ada seorang lelaki yang menemui Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Ilmu”. Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu menjawab ilmu?!”. Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya, “Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133]) 

Sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir siang untuk menghadiri majelis ilmu bukanlah jihad, maka sungguh akal dan pikirannya sudah tidak beres.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6)

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang ‘alim/ahli ilmu akan dimintakan ampun oleh segala makhluk yang di langit dan di bumi, sampai-sampai oleh ikan yang berada di dalam air/laut.” (HR. Ahmad, dll. disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib) (lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 60)

Abu Ja’far Muhammad bin ‘Ali rahimahullah berkata, “Demi Allah! Sungguh kematian seorang ‘alim/ahli ilmu lebih dicintai Iblis daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah.” (lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 78)

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *