AqidahBelajar Jarak JauhTauhid

Faidah Ushul Tsalatsah [bagian 5]

Materi :

– Mengenal Allah

– Ilmu tentang Allah

– Mengenal Nabi

Mengenal Allah

Kita berjumpa kembali dalam seri belajar aqidah dari kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Setelah menyampaikan tentang wajibnya berilmu, maka beliau pun menerangkan apa yang dimaksud dengan ilmu.  Beliau berkata, “…Ilmu itu adalah mengenal Allah…”

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, apa yang dimaksud dengan mengenal Allah? Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah pengenalan dari dalam hati yang melahirkan sikap menerima dan tunduk kepada syari’at Allah serta berhukum dengan syari’at-Nya yang telah disampaikan oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 19)

Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘mengenal Allah’ itu adalah dengan beriman kepada-Nya. Dan hal itu mencakup iman kepada wujud Allah -bahwa Allah itu ada-, iman kepada rububiyah, uluhiyah, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya (lihat It-haful ‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 8) 

Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah pun menegaskan bahwasanya yang dimaksud ‘mengenal Allah’ di sini adalah pengenalan yang membuahkan tauhid. Sehingga mengenal Allah itu mencakup mengenal nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, uluhiyah-Nya, dan rububiyah-Nya. Inilah yang menjadi misi utama Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Agar Allah diesakan dan tidak dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 5)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ‘mengenal Allah’ bukan semata-mata pengenalan yang terbayang di dalam pikiran manusia. Akan tetapi yang dimaksud mengenal Allah adalah yang melahirkan ucapan, amalan, dan keyakinan -atau kita sebut dengan istilah ‘iman’-. Bukan semata-mata ‘mengenal’; sebab Iblis pun mengenal Allah, yaitu dia mengenal bahwa Allah adalah Rabbnya akan tetapi dia justru kufur dan menentang. Pemahaman semacam ini -yaitu yang mendefinisikan iman cukup dengan ma’rifah/pengenalan belaka- adalah penyimpangan yang dilakukan oleh sekte Jahmiyah. Karena mereka (Jahmiyah) mendefinisikan iman hanya dengan ma’rifah. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan mengenal Allah di sini adalah yang mencakup pembenaran di dalam hati/keyakinan, ucapan, dan amalan. Sehingga tercakup di dalamnya iman kepada rububiyah Allah, uluhiyah-Nya, dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya (lihat Transkrip Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 5)

Mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)

Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah, isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)

Mentauhidkan Allah dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif/membagaimanakan dan tanpa tamtsil/menyerupakan, tanpa tahrif/menyelewengkan, tanpa ta’wil/menyimpangkan, dan tanpa ta’thil/menolak serta menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)

Ilmu Tentang Allah

Ilmu tentang Allah mencakup ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Keyakinan bahwasanya Allah itu ada. Bahwa Dia ada di atas Arsy. Dia memiliki nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang paling mulia sebagaimana yang disebutkan oleh diri-Nya sendiri maupun yang disebutkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ilmu bahwasanya Allah adalah Rabb (penguasa dan pemelihara) sedangkan selain-Nya adalah yang dikuasai dan diatur oleh-Nya. Bahwa Allah adalah pencipta sedangkan selain-Nya adalah makhluk ciptaan-Nya. Bahwa Allah adalah penguasa sedangkan selain-Nya adalah dikuasai oleh-Nya. Bahwa Allah adalah yang maha mengatur sedangkan selain-Nya adalah yang diatur.

Termasuk juga di dalamnya adalah ilmu bahwasanya Allah adalah yang berhak untuk disembah. Tidak ada yang berhak menerima ibadah kecuali Dia. Ibadah itu meliputi perintah dan larangan. Perintah dikerjakan sedangkan larangan ditinggalkan. Demikian pula ibadah itu mencakup segala hal yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya berupa ucapan dan perbuatan yang batin dan yang lahir. Hanya Allah yang berhak mendapatkan ibadah apa pun bentuknya.

Sholat, zakat, puasa, haji, doa, sembelihan, nadzar, isti’adzah, istighotsah, tawakal, khauf/takut, raja’/harapan, ini semua tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata. Ibadah itu adalah hak Allah sehingga tidak boleh memalingkannya kepada selain-Nya siapa pun juga; apakah itu malaikat yang dekat dengan Allah ataupun nabi yang diutus oleh-Nya. Tidak boleh menujukan ibadah kepada Jibril ataupun malaikat lainnya. Dan tidak boleh pula menujukan ibadah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun nabi-nabi yang lainnya. Apabila mereka berdua saja tidak boleh mendapatkan peribadatan maka selain mereka tentu saja lebih tidak boleh.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memang memiliki hak untuk kita taati, kita cintai, dan kita agungkan. Akan tetapi ibadah sama sekali bukan menjadi hak beliau untuk menerimanya. Sesungguhnya ibadah itu adalah hak Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya.

Disarikan dari : Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 12-13

Mengenal Nabi

Kemudian, beliau melanjutkan bahwa termasuk hakikat ilmu yang paling wajib dipelajari itu adalah mengenal Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud nabi-Nya di sini adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Dan Hasyim adalah dari keturunan Quraisy, sementara Quraisy adalah keturunan Kinanah. Dan Kinanah termasuk bangsa Arab, sementara bangsa Arab adalah keturunan Nabi Isma’il putra Nabi Ibrahim ‘alaihimus sholatu was salam. Sementara Nabi Ibrahim adalah keturunan Nabi Nuh ‘alaihis salam (lihat al-Ushul fi Syarhi Tsalatsatil Ushul hal. 31 karya Syaikh Abdullah al-Yahya)

Mengenal nabi menjadi sesuatu yang sangat penting disebabkan beliau adalah orang yang menjadi penyampai ajaran dari Allah kepada kita. Beliau adalah perantara antara kita dengan Allah dalam hal penyampaian risalah. Oleh sebab itulah kita harus mengenalinya; siapakah orangnya dan bagaimana nasab atau garis keturunannya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 21 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Kemudian, perlu juga digarisbawahi bahwa yang dimaksud mengenal nabi bukanlah terbatas kepada mengenal nasab atau garis keturunannya. Akan tetapi yang paling utama adalah dengan beriman kepada beliau, membenarkan bahwa beliau memang diutus oleh Allah, menaati perintahnya, menjauhi larangannya, beribadah kepada Allah mengikuti syari’at yang diajarkannya. Jadi bukan semata-mata hanya menyandarkan diri sebagai pengikut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 5 oleh Syaikh Shalih as-Suhaimi)

Seorang muslim yang mengenal nabi maka dia akan tunduk kepada hukumnya, berhukum dengan syari’atnya dan ridha dengan hukumnya. Dia akan mendengar dan taat kepada hukum rasul. Dan dia akan mengembalikan segala perselisihan kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Dan dia pun akan menghindarkan diri dari sikap menyelisihi ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah kamu apa itu fitnah -sebagaimana disebut dalam surat an-Nuur ayat 63- . Fitnah itu adalah syirik. Karena bisa jadi ketika seseorang menolak sebagian dari ucapan/sabda beliau maka muncullah penyimpangan di dalam hatinya maka dia pun menjadi binasa karenanya.” (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 20 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

Kesimpulan dan Faidah :

– Setiap manusia wajib mengenal Allah

– Yang dimaksud mengenal Allah adalah mentauhidkan-Nya

– Wajib beriman terhadap rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat Allah

– Mengenal Allah membuahkan ketundukan terhadap hukum-hukum-Nya

– Wajibnya menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata

– Tidak mungkin beribadah kepada Allah dengan benar kecuali dengan mengikuti petunjuk nabi

– Wajibnya mengenal nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

– Tidak cukup menyandarkan diri sebagai pengikut nabi apabila tidak disertai ittiba’ kepadanya

– Wajibnya tunduk kepada hukum dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

– Wajib membenarkan berita yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

– Tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti syari’at nabi

Pertanyaan Evaluasi :

– Apa yang dimaksud mengenal Allah?

– Apa yang dimaksud iman kepada rububiyah Allah?

– Apa yang dimaksud iman kepada uluhiyah Allah?

– Apa yang dimaksud iman kepada asma’ wa shifat Allah?

– Dimana letak penyimpangan kaum Jahmiyah dalam memahami iman kepada Allah?

– Mengapa penting untuk mengenal nabi?

– Apa konsekuensi dari mengenal nabi?

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *