Bismillah.

Satu hal yang diyakini oleh kaum muslimin, bahwa amalan hati memiliki pengaruh kuat terhadap amalan lahiriah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma yang menjelaskan pentingnya hati bagi amalan, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits ini para ulama memetik sebuah faidah bahwasanya kerusakan lahiriah merupakan dalil/tanda terhadap rusaknya batin (lihat Fat-hul Qawil Matin oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah, hal. 44)

Oleh sebab itu apabila kita lihat dalam sejarah umat Islam, penyimpangan kaum Khawarij bermula dari keyakinan seorang yang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala dia berkata kepada beliau, “Bertakwalah, wahai Muhammad.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa lelaki itu bernama Dzul Khuwaishirah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan lihatlah apa dampak keyakinan ini -yang menganggap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlaku adil- terhadap perbuatan mereka dan terhadap umat. Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka [Khawarij] itu, “…membunuhi umat Islam dan membiarkan bebas para pemuja berhala…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itulah kita dapati para ulama salaf sangat besar perhatiannya dalam masalah aqidah dan amalan-amalan hati. Dan dalam hal ini mereka telah meniti jalan dakwah para nabi dan rasul ‘alaihimus salam yang senantiasa menanamkan tauhid kepada umatnya. Di mana setiap rasul berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia.” (al-A’raaf : 59). Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama berdakwah di Mekah dan di Madinah.

Oleh sebab itu suatu hal yang membuat hati pilu ketika ada sebagian orang yang mengatakan ‘Mengapa kita begitu besar memperhatikan masalah tauhid? Tidakkah sebaiknya kita memperhatikan persoalan-persoalan kaum muslimin dan masalah yang menghimpit mereka?’ atau seruan lain yang serupa. Orang yang mengucapkan kalimat semacam itu mungkin lupa atau pura-pura lupa terhadap ucapan imamnya ahli tauhid; yaitu Ibrahim ‘alaihis salam ketika beliau berdoa kepada Rabbnya (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku beserta anak keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35). Kalau Ibrahim ‘alaihis salam saja sedemikian besar merasa takut dari syirik padahal beliau lah orang yang menghancurkan berhala kaumnya maka bagaimanakah lagi dengan orang lain yang berada di bawah kedudukannya?! (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah oleh Syaikh Abdussalam Barjas rahimahullah, hal. 44-45)

Salah satu pokok aqidah yang dilalaikan oleh banyak orang di masa kini adalah tidak bolehnya memberontak kepada pemerintah muslim yang sah ketika mereka melakukan penyimpangan yang tidak mencapai derajat kekafiran (akbar). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan rakyat untuk tetap taat kepada penguasa muslim selama dia tidak memerintahkan kemaksiatan dan tidak tampak darinya perbuatan kufur yang sangat jelas. Inilah aqidah Ahlus Sunnah, berbeda dengan aqidah sekte Mu’tazilah yang mengharuskan pemberontakan kepada penguasa apabila mereka berbuat dosa besar; dimana mereka [Mu’tazilah] menganggap bahwa hal itu termasuk amar ma’ruf dan nahi mungkar. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada kenyataannya, sesungguhnya perbuatan kaum Mu’tazilah inilah sebesar-besar kemungkaran; karena begitu banyak dampak buruk yang timbul karenanya seperti kekacauan, kerusakan urusan (umat), perselisihan kalimat (perpecahan), dan memberikan celah/kesempatan bagi musuh untuk menindas kaum muslimin.” (lihat Min Ushul ‘Aqidati Ahlis Sunnah, hal. 31)

Diantara sekian banyak pokok aqidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf yaitu; memurnikan ibadah kepada Allah, berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah, dan berhati-hati dan waspada dari bid’ah dan pembela bid’ah (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah oleh Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, hal. 7-8)

Dalil tentang wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa ini adalah sebuah hadits yang terkenal dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyi…” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi berkata; hadits hasan sahih)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah menjelaskan salah satu faidah hadits ini, “Salah satu wasiat yang paling penting untuk diberikan adalah kewajiban mendengar dan taat kepada ulil amri/pemerintah muslim; karena di dalamnya terkandung berbagai bentuk manfaat duniawi maupun ukhrawi bagi kaum muslimin.” (lihat Fat-hul Qawil Matin, hal. 100)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Wajib mendengar dan taat selama dia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Ketika dia diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihatnya melakukan suatu bentuk kemaksiatan kepada Allah maka hendaklah dia membenci perbuatan kemaksiatan kepada Allah itu tetapi janganlah sekali-kali dia mencabut ketaatan darinya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melihat pada pemimpinnya sesuatu yang tidak dia sukai hendaklah dia bersabar menghadapinya. Karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin) satu jengkal saja niscaya dia mati dalam keadaan seperti bangkai jahiliyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Demi Allah, tidak akan lurus perkara agama ini kecuali dengan adanya para penguasa (ulil amri), meskipun mereka berbuat aniaya dan zalim. Demi Allah, apa-apa yang Allah perbaiki dengan keberadaan mereka itu jauh lebih banyak daripada kerusakan yang mereka perbuat.” (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu hal. 21)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi kezaliman para penguasa merupakan salah satu pokok diantara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat dalam al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu hal. 22)

Oleh sebab itu salah satu manhaj/metode Ahlus Sunnah dalam hal ini adalah mereka tidak menempuh cara-cara yang menyebabkan perpecahan umat atau menanamkan kebencian dalam hati rakyat kepada penguasa mereka. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah tidak menyebut-nyebut keburukan pemerintah di atas mimbar-mimbar, dalam ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan. Bukanlah termasuk manhaj salaf mengobral aib-aib penguasa melalui mimbar-mimbar -atau yang sekarang marak dalam bentuk demonstrasi, pen- karena cara-cara semacam ini justru akan mengantarkan kepada kekacauan serta tidak adanya sikap mendengar dan taat pada perkara yang ma’ruf (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu hal. 26)

Cara yang benar adalah memberikan nasihat kepada pemerintah secara rahasia atau sembunyi-sembunyi melalui lisan secara langsung -bukan di hadapan publik- atau mengirimkan surat kepadanya, dan hendaklah nasihat itu diberikan dengan lemah lembut. Adapun membicarakan aib penguasa di atas mimbar atau pengajian-pengajian -apalagi yang mereka sebut dengan istilah unjuk rasa atau aksi damai dsb. Pen- ini bukanlah nasihat, tetapi ini adalah mengumbar aib sesama. Dan hal ini akan menyuburkan fitnah serta menyulut permusuhan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hal ini justru akan melahirkan banyak bahaya dan kerusakan seperti tekanan dan penindasan kepada para ulama dan da’i disebabkan aksi-aksi semacam ini (lihat nasihat Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam catatan kaki al-Manhaj as-Salafi, hal. 26-27)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga terjadi dalam bentuk ucapan.” (lihat dalam Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272 karya Syaikh Muhammad Raslan)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ditanya tentang cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukup antara kamu dan dia saja.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 105 oleh Ibnu Rajab)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berpandangan bahwasanya berbagai aksi demonstrasi bukanlah solusi. Hal itu justru menjadi sebab fitnah-fitnah dan salah satu sumber keburukan-keburukan, dan menjadi sebab pelanggaran hak kepada orang lain serta terjadinya kezaliman terhadap sebagian manusia (lihat al-Muzhaharat, hal. 77)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pun menegaskan bahwa demonstrasi adalah keburukan karena ia akan mengantarkan kepada kekacauan baik bagi orang-orang yang ikut berunjuk rasa maupun bagi pihak yang lainnya, bahkan terkadang timbul karenanya pelanggaran hak baik dalam hal kehormatan, harta, atau fisik. Karena orang-orang yang larut dalam demo ini seolah menjadi orang-orang yang mabuk. Oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa semua demonstrasi itu buruk; sama saja apakah ia diizinkan pemerintah ataupun tidak, yang jelas demonstrasi ini bukan jalannya para ulama salaf (lihat al-Muzhaharat, hal. 97-98)

Cukuplah kiranya bagi kita hadits-hadits dan nasihat para ulama di atas untuk memberikan jalan dalam memperbaiki keadaan umat ini dan mengatasi masalah-masalah yang sedang bergejolak di tengah masyarakat negeri ini. Sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah -yang sering kita dengar-, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.”

14718686_1803714443177090_1758038350701659065_n


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *