Adalah Thalq bin Habib rahimahullah -salah seorang ulama terdahulu- mengatakan, “Jagalah diri kalian dari fitnah dengan takwa.” Ada yang bertanya kepadanya, “Gambarkan kepada kami takwa itu seperti apa?” maka beliau menjawab, “Yaitu kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan azab Allah.” Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abi Dun-ya, dan lain-lain (lihat Mauqif al-Muslim minal Fitan, oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah, hal. 92)
Salah satu bentuk ketakwaan itu adalah bersabar. Allah berfirman (yang artinya), “…maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Huud : 49). Sabar adalah perkara yang sangat penting, sampai-sampai ada sebuah ucapan yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwa beliau mengatakan, “Sabar bagi iman seperti kepala bagi badan. Apabila kepala sudah terputus maka tidak lagi ada nyawa pada jasad…” Sebagian ulama menafsirkan bahwa hakikat sabar itu adalah tegar di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa sabar juga harus dilandasi dengan ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -dalam sebuah hadits yang sangat populer di tengah kita-, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan ia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu adalah pondasi bagi amal dan ketaatan. Tanpa ilmu seorang tidak akan bisa beribadah dan beramal dengan benar. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu -dalam riwayat lain dikatakan ‘beramal tanpa ilmu’- maka apa-apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” Dan perlu diingat bahwa seluruh amalan butuh landasan ilmu.
Termasuk di dalamnya adalah dalam hal dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itulah Allah perintahkan kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyatakan dengan tegas bahwa dakwah tauhid ini harus tegak di atas ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108). Imam Bukhari pun telah membuat bab dalam Sahihnya dengan judul ‘Bab. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Sementara tidaklah diragukan bahwasanya dakwah ila Allah merupakan sebaik-baik ucapan, meskipun demikian dakwah itu tidak akan benar dan lurus kecuali dengan ilmu dan hujjah yang nyata.
Oleh sebab itu dalam keterangannya di atas Thalq bin Habib rahimahullah mengingatkan kepada kita bahwa hakikat takwa tidak bisa dilepaskan dari cahaya dari Allah; yang dimaksud adalah cahaya ilmu dan keimanan. Karena pentingnya ilmu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut langkah-langkah untuk menimba ilmu agama sebagai jalan yang akan mengantarkan menuju surga. Padahal surga tidak bisa diraih kecuali dengan bekal takwa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Karena pentingnya ilmu pula, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keberadaan ulama rabbani di tengah manusia seperti cahaya bulan purnama yang menyinari malam yang gelap gulita. Sebagaimana orang akan kesulitan berjalan di malam hari yang gelap tanpa cahaya maka demikian pula seorang hamba akan kesulitan dalam menjalankan tugasnya di alam dunia ini tanpa bimbingan hidayah dan petunjuk yang dibawa oleh para ulama. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa umat manusia membutuhkan ilmu itu sebanyak hembusan nafas mereka…
Sementara perlu juga diingat bahwasanya hakikat ilmu bukanlah semata-mata banyaknya riwayat atau hafalan yang dimiliki. Akan tetapi lebih daripada itu hakikat ilmu yang sejati adalah yang membuahkan rasa takut di dalam hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu adalah rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim)
Karena itu pula para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sepakat bahwa setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah adalah orang yang jahil ketika dia melakukan maksiat itu. Maka tidak ada hujjah bagi mereka yang mengambil pendapat ulama yang bertentangan dengan al-Kitab atau as-Sunnah, sebab meninggalkan dalil dan ketetapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemaksiatan dan pelanggaran. Allah berfirman (yang artinya), “Jika kalian berselisih tentang suatu perkara kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (an-Nisaa’ : 59). Wajarlah jika Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berada di tepi jurang kehancuran.”
Takwa adalah taat kepada Allah, sementara ketaatan kepada rasul adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul itu sungguh dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dalam hal agama dengan wahyu dari Rabbnya, bukan dengan bekal logika atau perasaan belaka. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah hal itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)
Takwa adalah dengan melakukan amal salih, sementara amal salih adalah amal yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan amal yang diada-adakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim). Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan agar kita menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan di dalam agama. Sebagian salaf berkata, “Ikutilah tuntunan, jangan kalian membuat-buat ajaran baru (bid’ah). Karena sesungguhnya kalian ini telah dicukupkan.”
Imam al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dalam asy-Syari’ah (127) dari al-Walid bin Mazyad, dia berkata : Aku mendengar al-Auza’i berkata, “Hendaklah kamu mengikuti jejak-jejam kaum salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah olehmu pendapat akal (ra’yu) manusia meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” (lihat asy-Syari’ah, 1/445)
Oleh sebab itu para ulama menasihati kita untuk tidak duduk atau belajar kepada Ahlul Ahwaa’ (kaum ahli bid’ah). Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma. Beliau berkata, “Janganlah kalian duduk bersama ahlul ahwaa’ karena sesungguhnya duduk/belajar bersama mereka akan membuat hati menjadi sakit.” (lihat asy-Syari’ah, 1/452). Bahkan, Yahya bin Abi Katsir rahimahullah sampai mengatakan, “Apabila kamu bertemu dengan pembela bid’ah di suatu jalan/gang ambillah jalan yang lain.” (lihat asy-Syari’ah, 1/458)
Para ulama salaf sangat berhati-hati terhadap kaum ahli bid’ah. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Baththah rahimahullah di dalam al-Ibanah dengan sanadnya dari Ma’mar. Beliau berkata : Suatu ketika Thawus sedang duduk. Lalu ada seorang lelaki penganut Mu’tazilah yang datang dan mulai berbicara maka anak Thawus pun memasukkan kedua jarinya ke dalam telinga. Thawus berkata kepada anaknya, “Wahai putraku, masukkanlah kedua jarimu ke dalam telinga dan tutuplah rapat-rapat. Jangan kamu dengar sedikit pun ucapannya.” Ma’mar menjelaskan bahwa maksudnya adalah karena hati itu lemah (lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 9)
Dengan demikian, tidak akan selamat dari fitnah-fitnah ini kecuali dengan terus menimba ilmu -sebagaimana nasihat Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah– dan mengikuti arahan serta bimbingan para ulama yang tegar di atas manhaj salaf ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.
0 Komentar