Penyucian JiwaSalaf

Nilai Sebuah Amalan

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, amal salih merupakan bekal bagi kita untuk meraih surga. Akan tetapi untuk mewujudkan amal salih kita harus memahami apakah syarat diterimanya amalan. Para ulama telah menerangkan bahwa amal itu diterima jika ikhlas dan sesuai dengan tuntunan.

Diantara dalil yang dibawakan ialah firman Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Amal yang salih yaitu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat. Karena tidak ada suatu perkara pun yang mendekatkan ke surga kecuali telah beliau terangkan, demikian pula tidak tersisa perkara yang menjauhkan dari neraka kecuali juga sudah beliau jelaskan. Sehingga ajaran agama Islam ini telah ditinggalkan dalam keadaan putih bersih/terang-benderang. Sampai-sampai digambarkan dalam hadits bahwa jelasnya Islam itu ‘malamnya sebagaimana siangnya’…

Amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Bukan karena ingin mengejar ketenaran, simpati masyarakat, kedudukan di mata manusia, atau pun guna mengeruk kesenangan dunia. Apalagi jika amal itu dipersembahkan untuk berhala atau jin dan semacamnya. Amal yang tercampuri syirik tidak akan diterima oleh Allah sebagus apa pun itu.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Dengan demikian amal yang diterima oleh Allah sangat tergantung pada sejauh mana orang mengerjakan amal itu sesuai dengan tuntunan dan sejauh mana hatinya ikhlas dalam mengerjakannya. Sebagaimana dosa itu ada yang lahir dan yang batin, maka begitu pula amal; ada yang lahir dan yang batin. Ikhlas adalah amalan hati. Ikhlas tidak bisa dilihat, didengar atau diraba. Meskipun demikian kualitas keikhlasan itulah yang akan bisa melejitkan nilai dan timbangan pahala amal yang mungkin tampak sederhana.

Sebagian ulama terdahulu berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil/tidak berarti juga gara-gara salah niatnya.” Karena itulah para ulama salaf tidak hanya memperhatikan bentuk lahiriah dari amal perbuatan. Mereka pun senantiasa membersihkan hatinya dari segala hal yang merusak keikhlasan.

Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan, “Orang yang ikhlas itu akan berusaha untuk menyembunyikan amal-amal kebaikannya sebagaimana dia senang untuk menyembunyikan/tidak diketahui amal-amal keburukan/dosa-dosanya.”

Tentu bukan perkara mudah membuat hati anda merasa penuh kekhawatiran atas amal yang anda lakukan -bukan karena prasangka buruk kepada Allah tetapi karena anda menyadari rendahnya kualitas amalan- sementara secara lahiriah anda mempersembahkan amal terbaik yang bisa anda lakukan. Itqon dalam beramal, tekun, konsisten, rapi, disiplin, tertata, tidak serampangan.

Di situlah letak keindahan perkataan sebagian salaf, “Orang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat ihsan/kebaikan dengan rasa takut, sedangkan orang fajir memadukan dalam hatinya antara berbuat jahat/dosa dengan perasaan aman-aman saja/tidak bersalah.”

Lihatlah bagaimana Ibrahim ‘alaihis salam yang membangun Ka’bah bersama putranya Isma’il ‘alaihis salam lalu memohon agar amalnya diterima. Mereka tidak merasa berjasa kepada Rabbnya. Mereka pun tidak bisa memastikan amal perjuangannya diterima sebagai amal kebaikan. Mereka terus saja berharap dan khawatir terhadap nasib amalnya. Tergabung dalam hatinya rasa takut dan harapan.

Lihatlah bagaimana Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari menyembah berhala; padahal beliau adalah pejuang tauhid dan pembela aqidah yang menghancurkan patung dengan tangannya. Beliau khawatir aqidahnya teracuni kotoran syirik dan pemujaan berhala; sebagai akibat merebaknya dosa terbesar itu di tengah masyarakatnya. Beliau tidak merasa aman dan bebas dari bahaya kemusyrikan. Lantas bagaimana lagi dengan orang-orang yang hidup di masa ini…

Benarlah perkataan Ibrahim at-Taimi rahimahullah; “Lalu siapakah yang bisa merasa aman dari malapateka syirik itu sesudah Ibrahim ‘alaihis salam?!” Wahai saudaraku, sudah berapa lama anda belajar tauhid dan mengenal aqidah Islam? Apakah dengan begitu anda merasa aman dan menjamin diri lepas dari kemunafikan? Subhanallah…. Lihatlah para sahabat… manusia terbaik setelah para rasul…

Ibnu Abi Mulaikah berkata : Aku bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan mereka semuanya merasa takut kalau-kalau dirinya terjangkiti oleh kemunafikan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan imannya setara dengan imannya Jibril dan Mika’il.

Mari kita kembali memeriksa dan meneliti amal yang kita lakukan selama ini. Karena bisa jadi amal-amal itu telah berguguran dan rontok, lenyap dan hancur akibat dosa-dosa yang tersembunyi… Semoga Allah ampuni kesalahan kita dan menjadikan kita hamba yang kembali bertaubat kepada-Nya di sepanjang waktu…

Wallahul musta’aan.

Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *