AkhlaqManhaj

Merintis Dakwah

Bismillah.

Dakwah merupakan tugas yang sangat mulia. Ia merupakan bukti kasih sayang seorang muslim kepada umat manusia. Karena kebaikan pribadi tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk memberi manfaat bagi sesama. Karena itulah perkembangan dakwah ini harus selalu dipandu dan dijaga dengan asas ilmu agama. Sebab berdakwah tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang yang ingin melangkahkan kakinya di atas jalan dakwah ini harus ingat bahwa setiap amal yang kita kerjakan butuh kepada keikhlasan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu ditentukan oleh niatnya, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana diterangkan para ulama bahwa ikhlas maknanya adalah menghendaki keridhoan Allah dalam amal dan perbuatannya, bukan untuk mendapatkan pujian atau ketenaran. Bukan pula amal itu dilakukan dengan dorongan ambisi meraup balasan manusia atau ucapan terima kasih. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kebersihan hati dari syirik dan riya’ adalah kunci pokok keberhasilan seorang penggerak dakwah di tengah masyarakat.

Hal ini perlu untuk selalu kita ingat, karena keberhasilan dakwah tidaklah diukur dengan banyaknya pengikut atau ketenaran di hadapan khalayak. Kita lihat banyak ulama terdahulu yang namanya tidak tersohor tetapi karya dan buah dakwah mereka dapat dirasakan oleh manusia di berbagai penjuru dunia. Bukan hanya ulama, bahkan para nabi pun ada yang tidak terkenal dalam lembaran sejarah; karena Allah memang tidak menceritakannya kepada kita…

Seringkali orang yang menebar dakwah harus menghadapi gangguan, tekanan atau bahkan cemoohan. Lihatlah dakwah para nabi. Mereka dijuluki sebagai tukang sihir, pendusta, penyair, bahkan dimusuhi dan diperangi oleh kaumnya. Karena dakwah tauhid ini selalu menuntut kita untuk bersabar dan mengharap kepada Allah keutamaan dan karunia-Nya. Dunia ini sebentar, dan kesulitan yang dihadapi akan disertai dengan kemudahan demi kemudahan.

Oleh sebab itu, setelah keikhlasan dan ilmu, seorang penggerak dakwah membutuhkan cadangan kesabaran dan kekuatan iman yang besar. Jalan dakwah bukanlah permadani bertabur bunga dan berhias permata. Banyak onak dan duri, ombak dan badai yang terkadang menerpa perjalanan para pengemban dakwah tauhid ini. Karena itulah para ulama mengatakan; bermodalkan kesabaran dan keyakinan (ilmu) akan diraih derajat keimaman/keteladanan dalam hal agama.

Keimanan bahwa segala yang terjadi di alam dunia ini telah ditakdirkan oleh Allah, termasuk segala bentuk musibah dan kesulitan yang dihadapi dalam menjunjung kalimat tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabar, sebagaimana para nabi terdahulu juga bersabar. Demikian pula para sahabat dan ulama salaf pejuang iman bersabar menghadapi segala bentuk tekanan dan hambatan. Termasuk di dalamnya adalah bersabar dalam menghadapi kezaliman para penguasa.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bersabar menghadapi ketidakadilan dari para penguasa merupakan salah satu pokok utama dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Oleh sebab itu sebagian ulama salaf berkata, “Seandainya aku memiliki sebuah doa yang pasti dikabulkan niscaya aku akan gunakan doaku itu untuk mendoakan kebaikan bagi penguasa…” Karena itu para ulama kita memandang bahwa mendoakan kebaikan bagi pemerintah kaum muslimin melalui mimbar-mimbar jumat adalah sebuah kebaikan dan cerminan dari nasihat bagi para pemimpin umat Islam…

Selain itu seorang pejuang dakwah harus memiliki pandangan jauh ke depan dalam mengatur gerak langkah dan perilakunya. Sebab tidak ada satu kebaikan pun yang Allah sia-siakan. Tidak boleh kita meremehkan kebaikan sekecil apapun. Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar manfaatnya ketika dilakukan dengan ilmu, kesabaran dan keikhlasan. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa amal paling utama adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.

Selain itu, seorang penggerak dakwah harus selalu memperbaiki keadaan iman dan ibadahnya. Sebab iman bisa naik dan bisa turun. Naik dengan ketaatan dan turun akibat maksiat dan kesalahan. Karena itu lisannya tidak boleh kering dari taubat dan dzikir kepada Allah. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan; maka bagaimanakah kiranya keadaan seekor ikan apabila dia memisahkan dirinya dari air?!”

Semoga catatan singkat ini bermanfaat bagi kita. Wallahul muwaffiq.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *