Manhaj

Menuju Jalan Allah

Bismillah.

Sebagai seorang muslim kita tidak hanya dituntut untuk beramal salih, tetapi kita juga berkewajiban untuk punya kepedulian terhadap keadaan orang lain. Oleh sebab itu sering kita jumpai bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman pada diri orang yang melakukan beberapa bentuk perbuatan buruk kepada orang atau pihak lain.

Seperti misalnya, Nabi menafikan iman pada diri orang yang tidak membuat aman tetangganya dari gangguannya. Selain itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara iman dengan perbuatan baik kepada orang atau pihak lain. Semisal, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahwa bukan termasuk golongan beliau orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengenal hak/kedudukan orang yang berilmu diantara kita. Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang muslim -yang baik- adalah yang membuat kaum muslimin yang lain dari -gangguan- lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara bentuk kebaikan untuk orang lain adalah dengan memberikan nasihat serta amar ma’ruf dan nahi mungkar. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Bahkan mengajak manusia untuk menghamba kepada Allah merupakan jalan nabi dan para pengikutnya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata; inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108). Mengajak manusia menuju jalan Allah atau untuk bertauhid merupakan tugas dan kewajiban yang sangat agung. Akan tetapi dakwah ini membutuhkan ilmu, bekal kesabaran dan juga sikap yang hikmah serta dilakukan dengan tahapan-tahapan.

Kita tentu pernah mendengar kisah seorang adab badui yang kencing di salah satu sudut masjid nabawi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menghardiknya. Bahkan beliau membiarkannya menyelesaikan hajatnya itu lalu memerintahkan untuk bekas kencingnya disiram dengan air -karena lantai masjid ketika itu berupa pasir- lalu menasihatinya dengan lemah lembut.

Para ulama kita juga menasihatkan agar seorang yang berdakwah selalu memperbaiki niat dan keikhlasan hatinya. Sebab tidak sedikit orang yang berdakwah tetapi sebenarnya dia sedang mengajak orang demi kepentingan diri atau hawa nafsunya. Hal ini pun telah diingatkan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya yang sangat fenomenal…

Dari sana lah para ulama terdahulu semacam Imam al-Bukhari, Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, begitu pula Imam an-Nawawi rahimahumullah menyebutkan hadits tentang niat di bagian awal kitab-kitab hadits mereka, seperti dalam Shahih Bukhari, Umdatul Ahkam dan Arba’in Nawawiyah. Ini semuanya menjadi peringatan sekaligus motivasi untuk senantiasa menjaga kelurusan niat dalam beramal. Ibnul Mubarok rahimahullah -seorang ulama tabiin- berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal besar menjadi kecil/tidak berarti juga gara-gara niatnya.”

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa amal selain harus sesuai tuntunan maka ia juga harus ikhlas karena Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Dakwah tentu akan berhadapan dengan berbagai benturan dan hambatan. Oleh sebab itu seorang yang berdakwah harus bersabar. Demikianlah yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul kepada kita. Mereka didustakan, diganggu, dicaci, dimusuhi, diperangi, bahkan ada pula yang dibunuh oleh kaumnya. Sabar yang dimaksud adalah bersabar di atas kebenaran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa akan tiba suatu masa orang yang berpegang-teguh dengan ajaran agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.

Tidak kita nafikan bahwa dakwah ini membutuhkan ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi dan metode yang tepat untuk mendakwahi mereka. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman memberitahukan kepadanya bahwa dia akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Hal itu menunjukkan bahwa mengetahui kondisi mad’u adalah bagian penting di dalam dakwah. Mendakwahi orang desa tentu berbeda dengan mendakwahi orang perkotaan. Mendakwahi anak muda berbeda dengan mendakwahi orang tua, dan seterusnya.

Meskipun demikian harus diingat pula bahwa dalam berdakwah ada skala prioritas. Mana yang lebih wajib atau lebih penting untuk disampaikan lebih dulu. Mana yang harus ditekankan lebih banyak ketika melarang kemungkaran, misalnya. Dakwah tentang pokok agama seperti tauhid dan aqidah adalah suatu hal yang bersifat wajib dan urgen. Oleh sebab itu setiap rasul selalu mendakwahkannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyeru; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Apabila kita mencermati kandungan surat al-Fatihah yang setiap hari kita baca dalam sholat, begitu juga bacaan doa dan zikir pagi dan sore, banyak sekali kandungan tauhid dan akidah serta penyucian jiwa di dalamnya. Bahkan kalimat laa ilaha illallah merupakan cabang iman yang tertinggi, dzikir yang paling utama, dan seruan setiap nabi kepada umatnya. Di dalamnya terkandung penetapan Allah sebagai sesembahan yang haq dan menolak segala bentuk peribadatan kepada selain Allah apa pun atau siapa pun ia. Kalimat tauhid inilah kunci surga, sementara syirik adalah sebab terhalangnya seorang hamba masuk ke dalamnya.

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (al-Ma-idah : 72). Dengan demikian bersihnya hati dari syirik dan kemunafikan merupakan bentuk penyucian jiwa yang paling utama dan paling wajib. Oleh sebab itu Syaikh Prof. Abdurrrazzaq al-Badr hafizhahullah menegaskan dalam kitabnya ‘Asyru Qawa’id fi Tazkiyatin Nafs bahwa tauhid merupakan pokok utama yang akan menyucikan jiwa manusia.

Di dalam kalimat tauhid itu pula kita diajarkan untuk ikhlas. Oleh sebab itu kalimat tauhid juga disebut dengan kalimatul ikhlas. Perjuangan merawat keikhlasan adalam perjuangan sumur hidup. Karena amal-amal itu ditentukan oleh bagaimana penutupnya nanti di akhir. Sungguh wajar apabila sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih keikhlasan…”

Syiar orang yang ikhlas itu adalah bahwa dia beramal murni mengharap wajah Allah, bukan untuk mencari imbalan duniawi ataupun ucapan terima kasih/apresiasi dari orang lain. Keikhlasan itulah yang membuat orang seperti Uwais al-Qarani rahimahullah ‘dinobatkan’ oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tabiin yang paling baik. Seorang hamba yang tidak senang dengan ketenaran.

Dari situlah kita bisa memahami mengapa para ulama dunia sekelas Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Aku mencintai orang-orang salih tetapi aku bukanlah termasuk golongan mereka…” Karena dalamnya pengenalan mereka tentang Allah dan keagungan-Nya maka mereka merasa bahwa amal mereka tidak seberapa, terlalu sedikit dan sangat rendah dibandingkan hak Allah dan keutamaan-Nya.

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semuanya khawatir dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa imannya seperti iman Jibril dan Mika’il.” Atsar ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah -seorang imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah- suatu ketika dilapori oleh muridnya bahwa orang-orang memuji dan menyanjung beliau, maka beliau pun berkata, “Apabila seorang telah mengenali hakikat dirinya maka tidaklah bermanfaat/berpengaruh baginya ucapan/sanjungan orang-orang.” Sebagian ulama juga berkata, “Orang yang berakal adalah yang mengetahui hakikat dirinya dan tidak terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengenali seluk-beluk dirinya.”

Dengan demikian, kita bisa mengerti bahwa ilmu yang sejati adalah yang membuahkan rasa takut dan pengagungan kepada Allah. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khosy-yah/rasa takut dan pengagungan kepada Allah.” Para ulama tafsir juga menjelaskan bahwa hakikat shirothol mustaqim atau jalan yang lurus -dalam beragama- adalah mengenali kebenaran dan mengamalkannya. Adapun ilmu yang tidak membuahkan rasa takut dan pengagungan kepada Allah maka itu bukanlah ilmu yang bermanfaat.

Semoga catatan ini bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul muwaffiq.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *