IlmuPenyucian Jiwa

Menjaga Ilmu

Bismillah.

Diantara perkara yang semestinya dipahami oleh para pencari ilmu adalah bahwa ilmu agama ini butuh pada penjagaan. Penjagaan atau dalam bahasa arabnya ri’ayah merupakan upaya untuk memelihara ilmu yang dipelajari agar bisa membuahkan rasa takut kepada Allah dan amal salih.

Inilah yang diisyaratkan oleh Fudhail bin Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu senantiasa berada dalam kejahilan/kebodohan apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya barulah dia menjadi orang yang ‘alim/ahli ilmu sejati.”

Ini pula yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat. tetapi hakikat ilmu adalah rasa takut -kepada Allah-.” Karena itulah Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Setiap orang (muslim) yang takut kepada Allah -dengan sebenarnya dan dibangun di atas ilmu yang benar- maka dia lah orang yang ‘alim/ahli ilmu sejati.”

Ini pula yang diisyaratkan oleh para salaf yang menceritakan bagaimana cara para sahabat dahulu belajar agama, bahwa mereka tidaklah melampaui sekitar 10 ayat kecuali mereka berusaha untuk memahami pula isinya, ilmu dan kandungan hukum yang ada di dalamnya. Sehingga mereka tidak sekedar menghafal. Mereka juga sangat perhatian dalam tadabbur/merenungi kandungan ayat dan syarah/penjelasan dari haditsnya.

Diantara cara para ulama dalam menjaga ilmu itu adalah mendahulukan ilmu dasar dan yang lebih mudah dipahami sebelum ilmu yang tinggi/berat dan mengandung banyak perselisihan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari sebagian ulama, bahwa orang alim yang rabbani adalah mengajarkan ilmu yang kecil/dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar/berat. Dari sini kita dapat mengerti mengapa banyak ulama yang menulis kitab ringkas atau matan untuk diajarkan kepada masyarakat terutama para penimba ilmu. Karena untuk memudahkan pelajar dalam memahami tangga-tangga ilmu agama. Karena pada dasarnya kebenaran itu adalah perkara yang tidak ringan/berat -disebabkan ia harus berlawanan dengan hawa nafsu manusia yang sering mengajak kepada keburukan- maka ia butuh untuk disampaikan dengan cara yang mudah dan tidak membingungkan.

Jika kita merenungkan sekian banyak ayat al-Qur’an maka pembahasan tauhid rububiyah juga termasuk pembahasan yang paling sering dibawakan dalam rangka menegakkan kewajiban ibadah kepada Allah semata/tauhid uluhiyah. Yang demikian itu tidak lain karena tauhid rububiyah adalah perkara yang paling mudah diterima dan bahkan telah diakui oleh manusia bahkan orang kafir sekalipun; selama mereka mau menggunakan akal sehatnya.

Begitu pula kalau kita cermati ibadah sholat yang kita lakukan setiap hari, bukankah diantara ayat yang selalu dibaca oleh kaum muslimin adalah kalimat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin; yang bermakna ‘hanya kepada Allah kami beribadah dan hanya kepad Allah kami meminta pertolongan’. Tidak bosan-bosannya kita membaca dan mengulang kalimat ini sekurang-kurangnya 17 x dalam sehari semalam. Tidak lain karena hakikat penghambaan kepada Allah dan tauhid ini merupakan sesuatu yang menjadi fitrah dalam diri setiap insan.

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa bukanlah yang menjadi persoalan mengenai amalan -karena siapa pun bisa melakukan amal dengan taufik dari Allah – tetapi yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana menjaga amal itu dari berbagai faktor yang merusak dan menghancurkannya. Demikian pula dengan ilmu, menjaga ilmu dari riya’ dan ujub bukanlah perkara ringan. Sampai-sampai sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang mengobati sesuatu yang lebih susah daripada menundukkan niat/keinginanku.”

Sebagian mereka juga berkata, “Orang yang ikhlas itu berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.” Sebagian ulama juga berkata, “Apabila seorang telah mengenali hakikat dirinya maka ucapan orang tidak lagi bermanfaat baginya; maksudnya pujian dan celaan mereka tidak lagi menjadi ukuran karena di tahu kedudukan dan kehinaan dirinya di hadapan Allah.”

Di masa ketika media sosial dan sarana untuk mempertontonkan kelebihan sangat dimudahkan seperti sekarang ini maka tidak ada sebuah perjuangan yang lebih berat selain perjuangan untuk menjaga keikhlasan dalam amalan. Kita khawatir apabila ternyata salah satu diantara 3 orang yang diadili pertama pada hari kiamat nanti adalah kita; yang menuntut ilmu dan membaca al-Qur’an tidak ikhlas karena-Nya, yang bersedekah tetapi karena ingin mendapat pujian dan sanjungan khalayak, yang berjihad demi mendapatkan julukan sebagai mujahid pembela agama… Subhanallah! Semoga Allah jauhkan kita dari segala bentuk perusak amalan.

Abdullah ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan 30 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan mereka semuanya khawatir kalau-kalau dirinya terjangkiti kemunafikan.” Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan merasa takut, sedangkan orang fajir/munafik memadukan antara berbuat buruk dan merasa aman/baik-baik saja.”

Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Ya Ghafuur ighfirlii...

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *