Kelemahan Akidah

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragukan betapa akidah menempati kedudukan yang sangat agung di dalam agama Islam. Akidah itu laksana pondasi dan pokok dari segala bangunan agama ini. Tanpa akidah tidak akan tegak dan beres urusan Islam.

Karena itulah setiap rasul diutus oleh Allah untuk mendakwahkan dan memahamkan akidah Islam yang mulia ini kepada umat manusia. Mereka mengatakan kepada umatnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah saja, tiada bagi kalian sesembahan -yang benar- selain Dia.”

Sebagian orang menyangka bahwa dakwah kepada akidah tauhid ini justru akan memecah-belah. Hal ini tampak dari ucapan, perilaku, dan sikap-sikap mereka. Mereka menganggap bahwa mendakwahkan tauhid ini akan membuat orang lari. Oleh sebab itu mereka enggan memprioritaskan dakwah tauhid ini dalam acara dan kegiatan-kegiatan mereka, sebagaimana hal ini disinggung oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramah beliau Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah (Fenomena Kelemahan Akidah).

Disebutkan oleh Syaikh al-Fauzan bahwa salah satu fenomena kelemahan akidah ini adalah sikap meremehkan tentang akidah. Bahkan, yang amat disayangkan adalah bahwa mereka yang terjatuh dalam kekeliruan ini adalah sebagian penimba ilmu dan da’i. Da’i-da’i yang mengajak kepada Islam, namun di saat yang sama mereka mengesampingkan masalah tauhid. Sungguh, ini adalah kenyataan yang memprihatinkan.

Diantara sebab terjadinya hal ini adalah keinginan mereka untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya. Mereka ingin agar manusia sebanyak mungkin bergabung ke dalam barisannya, di bawah bendera dan kelompok mereka. Mereka lupa bahwa banyaknya jumlah pengikut tidaklah ada artinya jika tidak disatukan di atas akidah yang benar, yaitu akidah tauhid.

Para sahabat dahulu bersatu -Salman dari Persia, Bilal dari Habasyah, Suhaib dari Romawi- adalah karena faktor kesamaan akidah dan keselarasan iman. Bukan karena persamaan organisasi, suku, bendera, dan kebangsaan. Mereka bersatu di atas jalinan tauhid dan akidah, bukan di atas ikatan-ikatan hizbiyyah. Oleh sebab itu para sahabat tidak mengenal prinsip ‘yang penting bersatu, walaupun akidah berbeda’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabat, bahwa tauhid inilah misi utama dakwah dan perjuangan mereka. Bukan semata-mata mengumpulkan manusia dan membiarkan mereka di atas akidahnya masing-masing. Tentu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling paham tentang fikih dakwah dan metode menasihati.

Mengesampingkah dakwah tauhid dan pembenahan akidah ini sama saja membiarkan umat berjalan menuju jurang kehancuran dan kebinasaan. Bahkan, ini sama artinya dengan menuduh bahwa para rasul tidak bijaksana dalam menerapkan dakwahnya. Sebagaimana kita mengetahui, bahwa ada nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali.

Keberkahan dakwah ini akan akan hilang tatkala perbaikan akidah dan pemurnian tauhid telah menjadi agenda yang dikesampingkan. Dari manakah umat akan memahami tauhid jika para da’inya malas dan enggan menerangkan dan membahas tauhid? Dari manakah umat akan mengenali syirik jika para da’inya alergi menguraikan seluk-beluk bahaya syirik?

Karena tauhid menempati kedudukan yang sangat penting di dalam agama ini, maka setan pun sangat gencar dalam berusaha menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Diantara bentuk tipu daya setan ini adalah berbagai syubhat yang dihembuskan setan kepada para da’i; bahwa dengan mengangkat materi dan tema-tema tauhid akan membuat orang lari dan tidak suka dengan dakwah kita. Oleh sebab itu, setan membisikkan ke telinga mereka; bahwa lebih baik mengangkat tema selainnya.

Sebagian beralasan, bahwa ini hanya sementara saja, agar manusia senang dan mau mendengar dakwah kita, nanti kalau sudah senang maka kita terangkan tauhid kepada mereka. Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang yang justru menikmati cara-cara semacam ini; sehingga pada akhirnya mereka lupa dan lalai dari memprioritaskan dakwah tauhid. Kalau ditanya, mereka akan menjawab bahwa materi tauhid itu terlalu berat, kita mulai dari yang ringan-ringan saja. Subhanallah! Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpesan kepada Mu’adz untuk mendahulukan dakwah tauhid adalah sebuah sikap dan manhaj dakwah yang tidak tepat?

Memang tauhid harus kita pahami secara lengkap dan tidak sepotong-sepotong. Pembenahan akhlak, perbaikan hukum, dan pembangunan kesejahteraan adalah bagian dari ajaran islam dan tuntutan tauhid. Namun, adalah sebuah kekeliruan tatkala perkara-perkara ini dijadikan sebagai pokok utama sementara masalah tauhid justru dikesampingkan. Sebagaimana halnya, kita mengetahui agungnya kedudukan sholat di dalam Islam, agungnya puasa dan zakat; meskipun demikian tidaklah itu berarti kemudian kita mengangkatnya di atas iman kepada Allah dan kandungan dua kalimat syahadat. Karena sholat, puasa, zakat, dsb tidak ada artinya jika tidak tegak di atas tauhid dan iman.

Dari sinilah kiranya patut bagi seorang da’i untuk meneliti kembali langkah dan perjalanan dakwahnya selama ini. Jangan-jangan selama ini mereka telah melalaikan dakwah tauhid dan mengesampingkan pembenahan akidah, dalam keadaan mereka tidak sadar. Ya, insya Allah para pegiat dakwah dan pejuang kejayaan ini memiliki niat dan tujuan yang mulia; kita tidaklah meragukan hal itu. Akan tetapi -sebagaimana kita yakini bersama- bahwa niat dan tujuan mulia tidak cukup apabila tidak digapai dengan cara yang benar.

Kita tidak mengenal kaidah/prinsip Machiaveli -sebagaimana yang sering disinggung oleh Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah– yaitu kaidah ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Dakwah ini adalah ibadah, dan ibadah tentu harus dilakukan dengan mengikuti manhaj/metode yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan dasar akal pikiran, perasaan, dan analisa otak manusia belaka.

Kita sering mengkritik kaum Khawarij karena mereka menganggap bahwa para sahabat dan ulama tidak mengenal fikih waqi’ alias bodoh tentang realita di lapangan, namun ternyata di saat yang sama sebagian kita juga sering merasa lebih paham dan lebih mengerti tentang manhaj dakwah daripada para ulama salaf; sehingga kita mengecilkan peranan dan pengalaman mereka. Sebagian orang bahkan menganggap pendapat dan pemikirannya laksana dalil agama, tentu ini adalah bentuk keangkuhan yang nyata.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *