Hari-Hari Paling Utama

Bismillah; dengan menyebut nama Allah…

Bulan Dzulhijjah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq.

Diantara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (al-Fajr : 1-2). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/391-392)

Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa arab kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya (lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hlm. 188). Diantara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Dzulhijjjah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah (lihat Tafsir al-Qurthubi, 22/257)

Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh” maksudnya adalah 10 hari awal menjelang idul adha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15/399)

Hal itu juga ditunjukkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang beramal pada hari itu lebih disukai oleh Allah daripada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah-…” (HR. Bukhari). Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam kitabnya Latha-if al-Ma’arif dalam judul pembahasan keutamaan sepuluh hari [awal] Dzulhijjah (lihat Latha-if al-Ma’arif, hlm. 458)

Diantara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Dzulhijjah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Dzulhijjah (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/78). Oleh sebab itu Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadits ini di bawah judul ‘puasa pada 10 hari pertama [Dzulhijjah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Dzulhijjah/hari raya Idul Adha dilarang puasa.

Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Dzulhijjah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Dzulhijjah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud). Hadits ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul ‘tidak berpuasa pada 10 hari awal [Dzulhijjah]’. Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.

Diantara sembilan hari awal Dzulhijjah itu yang paling dianjurkan untuk berpuasa adalah tanggal 9 Dzulhijjah yaitu hari Arafah bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Dalilnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arafah, aku berharap kepada Allah mudah-mudahan puasa itu menjadi sebab terhapusnya dosa setahun sebelumnya, dan juga setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim) (lihat Hidayatu ar-Raghib li Syarh ‘Umdati ath-Thalib, hlm. 393)

Syaikh Abdullah al-Jibrin rahimahullah menjelaskan bahwa kemungkinan yang dimaksud penghapusan dosa dalam hadits ini adalah untuk dosa-dosa kecil. Karena untuk terhapusnya dosa-dosa besar butuh pada taubat (lihat Ib-hajul Mu’minin bi Syarhi Manhajis Salikin, 1/371)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *