Bismillah.
Diantara perkara penting yang wajib dipahami oleh seorang muslim adalah bahwa ibadah kepada Allah dibangun di atas 2 pondasi; yaitu perendahan diri kepada Allah secara penuh dan kecintaan tertinggi kepada-Nya. Inilah dua akar penghambaan kepada Allah, sebagaimana diterangkan oleh para ulama diantarnya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Kecintaan kepada Allah akan lahir dari sikap musyahadatul minnah; melihat berbagai nikmat dan karunia yang Allah curahkan kepada hamba. Adapun perendahan diri dan ketundukan kepada Allah akan muncul dari sikap muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; menelaah berbagai aib pada diri dan amal perbuatan hamba.
Kedua pilar penghambaan ini telah terwakili dalam sayyidul istighfar yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dalam kalimat yang berbunyi ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya‘; aku mengakui kepada-Mu atas segala nikmat yang Kau curahkan kepadaku terkandung sikap musyahadatul minnah/mengakui curahan nikmat Allah. Dan dalam ungkapan ‘wa abuu’u bidzanbii‘; dan aku pun mengakui atas segala dosaku terkandung sikap muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; mengakui cacat dalam diri dan amal perbuatan kita.
Kecintaan kepada Allah merupakan motor penggerak amal dan ketaatan. Karena orang yang mencintai akan taat dan patuh kepada yang dicintainya. Kecintaan kepada Allah merupakan ruh dari ibadah. Oleh sebab itu Allah menyebut perbuatan orang kafir yang mencintai sesembahannya setara dengan kecintaan kepada Allah sebagai bentuk syirik dan pemberhalaan.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu/tandingan; mereka mencintainya sebagaimana cinta kepada Allah. Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165). Orang beriman mencintai satu sesembahan yaitu Allah, sedangkan orang musyrik mencintai sesembahan yang banyak. Oleh sebab itu kecintaan ahli tauhid itu murni sedangkan kecintaan orang musyrik terbagi-bagi.
Karena pentingnya kecintaan inilah kita disyariatkan setiap hari untuk memuji Allah di dalam sholat maupun di luar sholat. Karena nikmat yang Allah berikan kepada kita tidak terhingga, tidak ada habis-habisnya. Sementara hati manusia tercipta dalam keadaan mencintai Dzat yang telah berbuat baik kepada dirinya. Apabila seluruh langit dan bumi tunduk di bawah kekuasaan Allah dan segala nikmat itu berasal dari-Nya maka tentu kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya mengalahkan cintanya kepada segala hal.
Kecintaan yang dimaksud adalah kecintaan yang disertai dengan perendahan diri kepada Allah. Karena cinta tanpa perendahan diri bukanlah ibadah. Para ulama menjelaskan bahwa ibadah ialah perendahan diri kepada Allah yang disertai kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Tsalatsatul Ushul.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah merupakan perpaduan antara puncak perendahan diri dan puncak kecintaan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa ibadah itu mencakup segala hal yang dicintai Allah berupan ucapa dan perbuatan; yang lahir dan yang batin. Oleh sebab itu ada ibadah dengan lisan, ada ibadah dengan hati, dan ada ibadah dengan angota badan. Ada ibadah yang tampak dan ada ibadah yang tersembunyi. Sebagaimana dosa ada yang lahir dan ada pula yang batin.
Amal-amal batin merupakan pondasi dari amal-amal lahiriah. Para ulama menjelaskan bahwa amal itu berbeda-beda tingkatannya disebabkan perbedaan apa yang ada di dalam hati pelakunya berupa keimanan, keikhlasan dan tauhid. Penggerak amalan hati ada 3; cinta, takut dan harapan. Semua amalan butuh pada keikhlasan, karena ia merupakan syarat diterimanya amalan. Ikhlas menjadi asas dan pondasi ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka berbuat syirik pasti lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang beriman memadukan dalam dirinya antara berbuat baik/ihsan dan merasa takut, sedangkan orang fajir/kafir memadukan dalam dirinya antara berbuat buruk dan merasa aman.” Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa barangsiapa semakin mengenal Allah maka ia pun semakin takut kepada-Nya. Rasa takut yang dimaksud adalah yang menghalangi seorang dari perbuatan yang haram dan mendorongnya untuk melakukan ketaatan dan taubat dari dosa.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Dari sini kita mengetahui bahwa keimanan yang diterima oleh Allah adalah yang dilandasi dengan keyakinan/aqidah, kejujuran dan keikhlasan. Akan tetapi iman juga harus terwujud dalam bentuk amal-amal lahiriah. Karena itulah para ulama mengatakan bahwa ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid, sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat yang sah kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci.
Misalnya sholat, tidaklah sholat diterima jika tidak dilandasi dengan iman dan tauhid. Sholat juga tidak diterima jika tidak disertai dengan keikhlasan. Seperti sholatnya orang munafik yang riya’ atau mencari pujian semata. Secara fisik tubuhnya mengerjakan sholat tetapi hatinya tidak ikhlas beribadah kepada Allah. Begitu pula sedekah tidak diterima tanpa keikhlasan. Bahkan jihad sekalipun tidak bernilai di hadapan Allah jika tidak ditegakkan di atas keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Allah takdirkan nikmat untuk kita agar kita terus bersyukur kepada-Nya. Allah takdirkan musibah menimpa agar kita bersabar dan mengharapkan pahala. Allah takdirkan musibah juga untuk mengingatkan kita agar bertaubat dari dosa. Agar kita semakin merendah kepada Allah dan takut akan azab-Nya. Kecintaan kepada Allah diuji dengan berbagai bentuk nikmat dan musibah. Apakah dengan nikmat itu kita semakin bersyukur ataukah justru kufur? Apakah dengan musibah itu kita bertambah sabar atau malah futur?
Semoga Allah beri taufik kepada kami dan segenap pembaca.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com
0 Komentar