Bismillah.

Hadits Arba’in Nawawiyah adalah sebuah buku ringkas karya seorang ulama besar di masanya yang bernama Yahya bin Syaraf yang memiliki nama kun-yah Abu Zakariya an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i yang sering disebut dengan Imam an-Nawawi rahmatullah ‘alaih.

Beliau lahir di Nawa pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 676 H. Diantara tanda kesungguhan beliau dalam menimba ilmu dalam waktu sehari beliau biasa menghadiri 12 pelajaran bersama para guru/masyayikh. Beliau juga menulis banyak karya tulis. Diantara karyanya yang tersebar luas adalah Syarah Shahih Muslim, Riyadhush Shalihin, al-Adzkar, dsb.

Imam adz-Dzahabi memuji an-Nawawi dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’ : an-Nawawi adalah seorang syaikh/guru besar. Seorang imam/panutan, teladan, al-Hafizh/juru hafal handal. Seorang yang zuhud. Seorang ahli ibadah. Seorang yang berpemahaman dalam tetang agama…

Diantara para ulama yang menukil faidah atau riwayat dari Imam an-Nawawi adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnu Abdil Hadi. Begitu pula al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari banyak menukil penjelasan dari Imam an-Nawawi, semoga Allah merahmati kita dan mereka…

Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Arba’in ini pada bagian awal sebuah hadits yang disepakati kesahihannya -atau yang dikenal dengan istilah muttafaq ‘alaih- yang mana hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab mereka masing-masing. Yaitu hadits dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya itu berarti hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya menuju apa yang dia niatkan ketika berhijrah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang agung ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari pada urutan pertama di dalam Sahih-nya. Hadits ini menunjukkan bahwa amal yang diterima adalah yang disertai dengan niat. Niat yang dimaksud mencakup keikhlasan dalam beramal karena Allah dan niat dalam artian kehendak untuk beribadah. Niat dalam pengertian pertama merupakan syarat diterimanya semua amalan; bahwa semua amal harus ikhlas, tidak boleh tercampuri riya’ atau syirik. Adapun niat dalam pengertian kedua bermakna pemisah antara ibadah dengan kebiasaan/non ibadah, demikian pula untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain; misalnya sholat sunnah dengan sholat wajib.

Hadits niat ini adalah hadits yang sangat penting dan dimasukkan dalam kelompok hadits-hadits yang menjadi poros agama Islam. Karena syarat diterimanya amalan salah satunya adalah harus ikhlas; sebagaimana yang terkandung di dalam hadits ini. Adapun syarat kedua adalah sesuai tuntunan; yang itu terkandung dalam hadits ‘Aisyah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Kedua syarat ini telah terangkum dalam ayat di akhir surat al-Kahfi, Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Beramal salih maksudnya melakukan amal yang sesuai tuntunan, sedangkan tidak mempersekutukan Allah artinya amalan itu harus ikhlas. Kedua hal inilah pilar diterimanya amal sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.

Oleh sebab itulah Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam kitabnya Riyadhush Shalihin juga membawakan hadits ini di bab pertama dengan judul bab ‘Ikhlas dan menghadirkan niat dalam seluruh amalan dan perkataan yang tampak maupun tersembunyi.’

Beliau memaknakan niat dalam hadits tersebut dengan dua cakupan makna; yaitu ikhlas dalam beribadah alias tauhid dan menghadirkan niat beribadah ketika beramal. Makna niat yang pertama adalah pembahasan para ulama tauhid, sedangkan makna niat yang kedua adalah pembahasan para ulama fikih. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hadits ‘innamal a’maalu bin niyaat’ ini mencakup ilmu tauhid dan ilmu fikih.

Walaupun dilihat dari sisi sanad/rantai periwayatan, hadits ini bukanlah hadits mutawatir. Ia termasuk hadits ahad; maksudnya sahabat yang meriwayatkannya hanya satu orang yaitu Umar bin Khattab, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Umar selain Alqomah bin Waqqash al-Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqomah selain Muhammad bin Ibrahim at-Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa’id al-Anshari.

Imam Bukhari mengawali kitab Sahihnya dengan hadits ahad -yaitu hadits Umar di atas-, dan menutup kitab Sahihnya dengan hadits ahad pula, yaitu hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua kalimat yang ringan di atas lisan, berat di atas daun timbangan, dan dicintai oleh ar-Rahman; Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil ‘azhim.”

Hadits ini mengandung faidah yang sangat agung bahwa seorang bisa mendapatkan pahala karena niatnya, walaupun apa yang dia lakukan itu asalnya perkara yang mubah semacam makan dan minum. Apabila ia niatkan untuk memperkuat ibadah maka dia diberi pahala karenanya. Sehingga perbuatan yang sama bisa jadi memberikan pahala bagi sebagian orang dan tidak membuahkan apa-apa bagi yang lain; disebabkan perbedaan niatnya.

Selain itu perlu diketahui bahwa letak niat adalah di dalam hati. Tidak perlu melafalkan niat dalam beribadah, sebagaimana diterangkan oleh para ulama diantaranya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah.

Hadits ini mengandung pelajaran penting bahwa niat atau keikhlasan merupakan pondasi amalan.

Rusaknya niat mengakibatkan rusaknya amalan. Dan menunjukkan wajibnya mengikhlaskan amalan untuk Allah, bukan karena ingin mencari pujian atau sanjungan atau demi mengejar target-target duniawi. Amalan yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh Allah alias terhapus sia-sia.

Hadits ini juga menunjukkan betapa hinanya orang yang melakukan amal salih dengan motivasi mencari kesenangan dunia semata.

Demikian sedikit catatan, semoga bermanfaat. Wallahul muwaffiq.

Referensi :

Riyadhush Shalihin, Imam an-Nawawi

Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Fathul Qawil Matin, Abdul Muhsin al-’Abbad

Minhatul Malik al-Jalil, Abdul Aziz ar-Rajihi

al-Fawa-id al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyah, Abdurrahman bin Nashir al-Barrak

Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, Yahya al-Hajuri

Penyusun : Redaksi al-mubarok.com

Facebook : Kajian Islam al-Mubarok

Website : www.al-mubarok.com

Kontak : 0853 3634 3030 (wa)


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *