Bismillah.
Alhamdulillah atas taufik dan petunjuk yang Allah berikan kepada kita. Segala puji bagi Allah yang menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, rahmat bagi alam semesta dan penutup para nabi dan rasul. Amma ba’du.
Tidaklah diragukan bahwa hidup di alam dunia ini hanya sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian yaitu kehidupan di alam akhirat. Orang yang dibebaskan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh dia telah berbahagia dan sukses hidupnya.
Allah telah mengutus para rasul untuk mengajarkan kepada manusia hakikat ibadah dan tauhid kepada-Nya. Sehingga diutusnya para rasul merupakan nikmat yang sangat agung bagi umat manusia. Ibadah kepada Allah tidak akan diterima kecuali dengan mengikuti tuntunan dan petunjuk yang dibawa oleh rasul.
Saudaraku yang dirahmati Allah, tidak sedikit kita jumpai manusia di atas muka bumi ini yang tidak menyadari tujuan hidupnya. Mereka makan dan bersenang-senang tanpa aturan laksana binatang. Mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat kebenaran, memiliki pendengaran tetapi tidak digunakan untuk mendengarkan kebaikan, dan mereka memiliki hati tetapi tidak dipakai untuk memahami petunjuk kehidupan.
Sesungguhnya ibadah kepada Allah adalah kebutuhan setiap insan. Tanpa ibadah kepada-Nya maka hidup akan hampa, gersang, jauh dari ketenangan dan kering dari kesejukan iman. Sebaliknya, dengan ketaatan, keikhlasan, ibadah dan ihsan maka seorang muslim akan menikmati lezatnya kehidupan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Yang dimaksud ridha Allah sebagai Rabb tidak berhenti pada tauhid rububiyah; bahwa Allah sebagai pencipta, pengatur dan penguasa alam. Akan tetapi yang paling pokok adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah/sesembahan dan meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya. Inilah keadilan tertinggi dan pokok keimanan yang paling mendasar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah yang disebut sebagai tauhid; permunian ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik.
Dengan kemurnian tauhid inilah akan dipetik buah-buah yang indah dan keberkahan hidup bagi seorang muslim. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82). Ketentraman hidup dan hidayah dari segala bentuk penyimpangan adalah kunci kebahagiaan.
Sebab kebahagiaan itu bersemayam di dalam hati. Hati yang berbahagia adalah hati yang selamat. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tiada berguna harta dan anak-anak kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89). Sebagian ulama salaf menafsirkan bahwa hati yang selamat adalah yang bersih dari kotoran bid’ah dan merasa tentram di atas Sunnah/ajaran Nabi. Sehingga pemilik hati yang selamat adalah orang beriman, ahli tauhid, bukan orang kafir, musyrik ataupun munafik.
Diantara bentuk kebahagiaan yang dirasakan oleh ahli tauhid adalah ketenangan hati dengan menegakkan sholat. Sebab sholat merupakan penyejuk hati insan beriman. Sholat menjadi tiang agama dan pilar ketaatan. Sholat pun membentengi pelakunya dari perbuatan keji dan kemungkaran. Di dalam sholat terpadu antara iman, keikhlasan, dzikir, doa, syukur, dan ketundukan kepada Allah Rabb penguasa seluruh alam. Inilah ibadah yang menjadi karakter kaum muslimin di sepanjang zaman.
Diantara manfaat dari sholat adalah menghapuskan dosa-dosa. Seorang muslim yang mengerjakan sholat lima waktu dengan baik niscaya akan dibersihkan dosa-dosanya sebagaimana orang yang mandi sehari lima kali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat lima waktu, sholat jumat yang satu menuju jumat berikutnya, puasa Ramadhan yang satu menuju Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan diantaranya selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)
Begitu pula ibadah puasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Keutamaan serupa juga ada pada qiyam Ramadhan/sholat tarawih. Tentu ini semua tidak akan bisa diraih bagi orang-orang yang atheis, agnostik, kafir atau musyrik.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti lenyap semua amal kebaikan yang dahulu pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Nikmatnya ibadah dan kebahagiaan hidup yang hakiki tidak akan bisa diraih dengan kesyirikan, kemunafikan atau kekafiran. Walaupun mereka adalah pemilik berbagai jenis kesenangan duniawi seperti harta, kedudukan, ketenaran, kekuasaan dan kecantikan. Bagaimana mereka bisa merasakan lezatnya hidup sementara lisan dan hatinya jauh dari ibadah dan dzikir kepada Allah…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Bagaimana keadaan seekor ikan apabila ia dipisahkan dari air?”
Puncak dzikir adalah ketundukan sepenuhnya kepada Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Said bin Jubair rahimahullah, “Dzikir adalah taat kepada Allah, maka barangsiapa yang taat kepada-Nya maka dia telah berdzikir kepada-Nya…” Di sisi lain, Allah ciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, dan puncak dari ibadah itu pun berupa ketaatan kepada-Nya. Oleh sebab itu Said bin Jubair rahimahullah juga menafsirkan hakikat ibadah ialah ketaatan.
Ketaatan yang dimaksud adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah takwa. Oleh sebab itulah orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa; yaitu yang paling tunduk dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa itulah bekal terbaik seorang hamba dalam menghadapi kematian dan hari pembalasan.
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah seorang yang memperbanyak mengingat saat-saat datangnya kematian; sebab tidaklah seorang banyak-banyak mengingat kematian kecuali pasti akan terlihat/tampak pengaruhnya dalam amal perbuatannya.”
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com