Akhlaq

Belajar Mengendalikan Lisan

Bismillah.

Salah satu perkara yang menjadi kunci kebaikan seorang muslim adalah kesadaran dan kemampuan untuk menjaga lisan. Sebab lisan akan mendatangkan sekian banyak keburukan apabila ia tidak digunakan dalam kebaikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata-kata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisannya dari berbagai bentuk dosa dan keburukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim yang baik adalah yang membuat selamat kaum muslimin dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara bentuk kejahatan lisan adalah berbicara tentang agama tanpa landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Dan kalian berbicara atas nama Allah dengan sesuatu yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (al-A’raaf : 33). Termasuk di dalam urusan fatwa, apabila seorang berfatwa dalam perkara agama ini tanpa bekal ilmu yang memadai.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari umat manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sampai apabila tidak tersisa orang yang ‘alim/ahli ilmu maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh; mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Terlebih di masa pesatnya media sosial dan derasnya informasi dari berbagai penjuru, semua orang dengan mudah bisa berbicara atau berkomentar dalam urusan-urusan besar yang berkaitan dengan agama dan darah serta kehormatan manusia. Perkara-perkara yang semestinya disikapi dengan penuh kehati-hatian dan tidak asal bicara. Ada pihak-pihak yang berwenang untuk memberikan fatwa dan penjelasan terkait masalah-masalah agama. Tidak semua orang bebas berbicara begitu saja di muka publik karena hal ini akan lebih banyak membawa bahaya dan merusak etika.

Tidak diragukan bahwa kita punya kewajiban untuk menasihati satu sama lain dan mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Apabila lisan ini kita gunakan untuk kebaikan, seperti berdzikir, membaca al-Qur’an, mengajak kepada kebaikan atau melarang kemungkaran niscaya ia akan tersibukkan dalam hal yang bermanfaat. Sebaliknya apabila lisan ini tidak digunakan untuk kebaikan atau menahan dari ucapan buruk maka pasti ia akan mengeluarkan ucapan yang jelek dan mendatangkan bahaya; baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Sebagian ulama mengatakan, “Diantara tanda bahwa Allah berpaling dari seorang hamba adalah dengan menjadikan ia tersibukkan dalam urusan-urusan yang tidak penting/bermanfaat baginya.” Ketika Allah berpaling dari kita maka itu artinya Allah tidak memberikan taufik dan pertolongan kepada kita dalam kebaikan dan ketaatan.

Bukanlah sifat seorang penimba ilmu yang baik apabila ia selalu berbicara dan berkomentar dalam setiap kejadian atau fenomena yang tersiar di media sosial. Karena ada hal-hal yang bukan kapasitas dan di luar kemampuannya. Adapun sekedar menunjukkan kecintaan kepada kaum muslimin dengan mendoakan mereka maka hal itu bisa dilakukan dengan tetap menjaga adab dan etika.

Tidak selayaknya anak muda (baru belajar agama) dengan seenaknya menjatuhkan kehormatan para ulama atau merendahkan para pengemban dakwah Sunnah. Kritik dan nasihat hendaklah disampaikan dengan cara yang bijaksana dan mengikuti kaidah agama.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *