Hidup ini adalah ujian dan cobaan. Allah berfirman (yang artinya), “Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (Al-Mulk : 2)
Ujian ini adalah medan dan sarana pembuktian kebenaran iman. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan ‘kami beriman’ lantas mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui orang-orang yang jujur/benar dengan orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut : 2-3)
Bekal untuk menghadapi ujian dan cobaan ini adalah iman dan amal salih. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr : -1-3)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa saling menasihati dalam kebenaran adalah sarana dan metode untuk mengatasi fitnah syubhat/kerancuan pemahaman dan pemikiran, sedangkan saling menasihati dalam kesabaran adalah sarana dan metode untuk menepis fitnah syahwat/hawa nafsu yang menyimpang.
Fitnah atau kerusakan yang menimpa dan menyelimuti kehidupan manusia teramat banyak. Sehingga para ulama biasa membahas persoalan fitnah ini dalam bab-bab khusus yang mereka namakan dengan Kitabul Fitan, seperti misalnya yang dicantumkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahihnya. Dalam menghadapi fitnah-fitnah ini tentu dibutuhkan persiapan dan kematangan. Iman dan amal salih tidak akan bisa terwujud tanpa landasan ilmu dan pemahaman.
Oleh sebab itu, Imam Al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab khusus dalam Shahihnya dengan judul Bab ilmu sebelum ucapan dan amalan. Para ulama salaf pun telah memperingatkan akan bahaya bertindak tanpa ilmu. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa yang dirusaknya jauh lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”
Tidaklah diragukan bahwa ilmu termasuk senjata paling ampuh untuk menyelamatkan diri dari berbagai jalan kerusakan. Oleh sebab itu, setiap hari kita meminta kepada Allah hidayah kepada jalan yang lurus. Hidayah ini mencakup ilmu dan amalan. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa ilmu adalah imam bagi amalan. Ilmu adalah kunci sekaligus gerbang menuju negeri kebahagiaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya niscaya Allah pahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga wajarlah apabila Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman…”
Akan tetapi sebuah kenyataan yang cukup memprihatinkan di tengah masyarakat kita adalah kebanyakan manusia jauh lebih memperhatikan urusan makanan dan minumnya daripada perkara ilmu dan agama. Untuk urusan makan dan minumnya mereka sanggup untuk bekerja keras, membanting tulang, memeras keringat dan mengerahkan segala kekuatan dan potensinya. Namun, dalam hal menimba ilmu agama serta mengumpulkan bekal untuk hari akhirat seolah mereka santai-santai saja. Mereka beralasan ‘tidak semua orang harus menjadi ulama’, atau berkata ‘biarlah urusan ilmu kita serahkan kepada para kiyai, ustadz, dan santri’ adapun kita cukup mengikuti.
Kita tidaklah menafikan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kapasitas masing-masing. Tidak semua orang wajib untuk menjadi ahli nahwu atau ahli hadits. Namun itu bukanlah bermakna kita tidak butuh belajar nahwu dan belajar hadits. Demikian pula apabila kita mengatakan bahwa tidak semua orang harus menjadi dokter atau insinyur, maka itu pun tidak bermakna bahwa mengetahui perkara yang berkaitan dengan teknik atau kedokteran adalah tidak dibutuhkan. Yang menjadi sumber masalah adalah ketika kita begitu gandrung kepada dunia dan melupakan akhirat.
Tentu, setiap pilihan dan jalan yang kita ambil akan memiliki konsekuensi dan resiko yang mau tidak mau harus dihadapi. Apabila kita telah mengetahui bahwa ibadah dan tauhid merupakan tujuan hidup ini. Dan inilah materi ujian yang harus kita kerjakan siang dan malam selama umur masih kita miliki. Maka sudah sewajarnya perhatian kita terhadap masalah ibadah dan tauhid menempati posisi yang terbesar dan tertinggi. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan ibadah dan tauhid kita lurus sementara kita berpaling dari ilmu agama? Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan ibadah dan tauhid sementara untuk urusan ilmu dan dakwah kita begitu lemah? Padahal, Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku mengajak -manusia- kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku. Dan maha suci Allah aku bukan termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108)
Ayat tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pengikut nabi yang hakiki adalah yang berdakwah kepada tauhid dengan landasan ilmu. Bukan orang yang berdakwah dengan landasan kebodohan dan semangat belaka. Apalagi orang yang sama sekali tidak punya keinginan untuk berdakwah dan menganggap bahwa dakwah hanya akan menghambat urusan dunianya atau membebani dirinya. Inikah yang disebut pengikut nabi yang sejati? Inikah yang diajarkan oleh generasi terbaik umat ini?
Ujian ini bukanlah ujian yang ingin kita serahkan hasilnya kepada manusia, sebab manusia bukanlah pemberi balasan dan pahala atas amal-amal kita. Namun, ujian dan cobaan ini adalah perkara yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Bukan untuk menunjukkan keberanian, kegagahan, keuletan dan kepiawaian kita di hadapan umat manusia. Apa yang bisa diberikan umat manusia kepada kita? Apakah mereka menguasai surga dan neraka? Apakah mereka yang menentukan dimana tempat tinggal kita kelak di akhirat sana? Allah yang akan menilai amal-amal kita dan apa-apa yang kita simpan di dalam hati kita selama hidup di dunia.
Saudaraku, kematian ada di hadapan kita. Bekal kita mungkin belum seberapa. Takwa kita masih layak untuk kita pertanyakan. Iman kita juga perlu untuk kita luruskan. Amal kita banyak yang harus diperbaiki. Ilmu dan ibadah kita masih terlalu ‘memalukan’ untuk dipersembahkan kepada Rabb jalla wa ‘ala. Bersyukurlah anda, apabila pada hari ini Allah masih curahkan hidayah Islam dan Sunnah kepada kita. Bersyukurlah anda kepada Allah, bahwa ternyata hidup yang Allah berikan kepada kita masih membuka kesempatan untuk menangisi kesalahan dan dosa-dosa kita. Bersyukurlah anda kepada Allah, bahwa ternyata umur yang Allah berikan kepada kita masih bisa untuk menyungkur sujud kepada-Nya, dan menikmati kesejukan bimbingan dan ajaran-Nya.
0 Komentar