3 Bentuk Amalan

Bismillah.

Setiap amal membutuhkan niat yang benar dan ikhlas. Oleh sebab itu kita perlu mengetahui apa saja bentuk amalan. Syaikh al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah menerangkan bahwa amal itu mencakup; amalan hati, amalan lisan, dan amal anggota badan.

Amal hati misalnya; tawakal kepada Allah, inabah/kembali; yaitu bertaubat dan taat kepada Allah, rasa takut/khasy-yah, dsb. Adapun amal lisan seperti; bacaan qur’an, dzikir, shalawat, adzan, doa, dsb. Amal anggota badan misalnya; tangan untuk menyembelih kurban, kaki untuk melangkah ke masjid, ruku’, sujud, dsb.

Apabila kita cermati ketiga jenis amalan itu juga ada pada syukur; syukur juga mencakup ucapan lisan, pengakuan di dalam hati bahwa nikmat berasal dari Allah, dan menggunakan nikmat dalam ketaatan dengan segenap anggota badan. Begitu pula iman; iman mencakup keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan.

Apabila diringkas, ketiga jenis amalan ini bisa disederhanakan menjadi dua bentuk saja; yaitu amalan lahir dan amalan batin. Hal itu ada pada syukur, iman, ibadah dan ketaatan. Sebagaimana dosa pun terbagi menjadi dua; ada dosa lahir dan ada dosa batin.

Hadits innamal a’maalu bin niyaat menunjukkan bahwa amalan hati menjadi penentu atas amalan lahir. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa agama ini terbagi menjadi dua bagian; satu bagian berkaitan dengan lahir seperti sholat, zakat dan puasa, dan ada bagian lain yang berkaitan dengan batin/hati; dan hal-hal yang ada di dalam hati ini menjadi asas bagi amalan lahir (lihat Syarh al-Arba’in Ibnu Baz, hal. 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Ketakwaan kepada Allah juga mencakup tiga jenis amalan; lisan, hati dan perbuatan dengan anggota badan. Seperti yang diisyaratkan oleh Thalq bin Habib rahimahullah, “Takwa adalah kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya merasa takut hukuman Allah.”

Dari sini kita juga mengetahui termasuk dalam bentuk amalan dan ketakwaan adalah menjauhi dan meninggalkan maksiat. Disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan gantikan hal itu dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad)

Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)

al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 211)

Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (lihat al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-‘Aqidah 1425 H)

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *