Bismillah.
Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan kandungan ayat berikutnya :
“وقوله: {قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا} [(151) سورة الأنعام]“
Firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah aku bacakan apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian kepada kalian; janganlah mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (al-An’am : 151)
Beliau berkata :
هذا فيه تحريم الشرك، تحريم الشرك، ومن لازم تحريم الشرك وجوب التوحيد؛ لأنه لا يتم تحريم الشرك ومنع الشرك والامتناع عن الشرك إلا بتحقيق التوحيد؛ لأنه إذا لم يتحقق التوحيد فالشرك حاصل
Di dalam ayat ini terkandung dalil pengharaman syirik, diharamkannya syirik. Konsekuensi dari pengharaman syirik adalah wajibnya bertauhid. Karena tidak akan terwujud pengharaman syirik dan pelarangan syirik kecuali dengan merealisasikan tauhid. Sebab apabila tauhid tidak terwujud itu artinya syirik pasti terjadi.
(lihat Transkrip Syarh Kitab Tauhid, bagian 1, hlm. 16)
Beliau juga menambahkan :
والتوحيد والشرك من باب النقيض، فإذا وجد الشرك ارتفع التوحيد، إذا وجد التوحيد ارتفع الشرك؛ لأنهما نقيضان
Tauhid dan syirik adalah termasuk perkara yang saling membatalkan. Apabila terdapat syirik maka tauhid terangkat/hilang. Apabila tauhid ada maka syirik hilang. Karena keduanya adalah perkara yang saling membatalkan/bertentangan satu sama lain/tidak mungkin bersatu.
(lihat Transkrip Syarh Kitab Tauhid, bagian 1, hlm. 16)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa dibawakannya ayat ini disebabkan di dalamnya terkandung keterangan diharamkannya syirik. Dan di dalam ayat ini ditunjukkan bahwa syirik merupakan keharaman yang paling berat (lihat Syarh Kitab Tauhid, hlm. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah memetik faidah bahwa dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa segala bentuk syirik adalah terlarang. Apa pun yang dijadikan sesembahan, dan ibadah apapun yang dilakukan. Maka wajib menujukan ibadah kepada Allah semata, tidak boleh menujukan ibadah dalam bentuk apapun -sedikit ataupun banyak- kepada selain Allah; siapa pun atau apa pun itu (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 17)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menerangkan bahwa di dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa bentuk perbuatan yang diharamkan, dan hal itu diawali dengan pelarangan terhadap syirik. Larangan terhadap hal itu memberikan konsekuensi hukum wajibnya bertauhid. Maka hal itu mengandung faidah bahwa tauhid merupakan kewajiban yang paling wajib dan bahwasanya syirik adalah keharaman yang paling besar (lihat Hasyiyah Kitab Tauhid, hlm. 16)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa hakikat syirik kepada Allah itu adalah beribadah kepada selain Allah sebagaimana ibadahnya kepada Allah, atau mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungan kepada Allah, atau menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, atau meletakkan pada selain Allah hal-hal yang termasuk kekhususan rububiyah Allah. Beliau juga menjelaskan bahwa apabila seorang hamba meninggalkan syirik secara total maka dia akan menjadi ahli tauhid dan orang yang ikhlas kepada Allah dalam segala keadaan. Inilah hak Allah atas hamba-hamba-Nya; yaitu mereka wajib beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 279)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi rahimahullah memetik faidah dari ayat tersebut bahwasanya syirik merupakan dosa besar yang paling besar, dan tidak sah amal apapun apabila disertai dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah Allah mengawali penyebutan hal-hal yang diharamkan dengan mendahulukan perkara syirik (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 29)
Oleh sebab itulah di dalam risalahnya yang lain yaitu Ushul Tsalatsah (tiga landasan utama) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “…dan perkara yang paling besar yang dilarang oleh Allah adalah syirik.”
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan :
Ini adalah faidah yang sangat agung. Karena ada sebagian orang yang berkeyakinan bahwa di sana ada perkara-perkara yang dinilai sebagai kejahatan terbesar dan larangan Allah yang terbesar, mereka mengatakan; riba itulah sebesar-besar keharaman, zina merupakan perkara yang paling diharamkan, oleh sebab itulah mereka memusatkan perhatiannya untuk melarang riba, zina, dan kerusakan akhlak. Akan tetapi mereka tidak memperhatikan masalah syirik. Mereka tidak memberikan peringatan akan hal itu. Padahal mereka melihat manusia terjerumus ke dalamnya. Maka hal ini merupakan kebodohan yang sangat besar terhadap syari’at Allah subhanahu wa ta’ala.
(lihat Syarh Ushul Tsalatsah, hlm. 82-83)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” maka beliau menjawab, “Kamu menjadikan sekutu/sesembahan tandingan bagi Allah padahal Dia lah yang telah menciptakan dirimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam surat al-Baqarah, Allah berfirman (yang artinya), “…maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah sedangkan kalian mengetahui.” (al-Baqarah : 22). Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan, “Yaitu -janganlah kalian mengangkat- tandingan yang kalian sembah sebagaimana ibadah kalian kepada Allah.” Sedangkan ‘kalian mengetahui’ maksudnya “bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 21)
Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu adalah perkara yang sudah dimiliki oleh orang-orang kafir dan musyrik. Allah yang mengatur alam semesta ini. Hal ini juga sudah diyakini oleh kaum musyrikin. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata; karena hanya Allah yang menciptakan mereka dan memberikan rezeki kepada mereka. Tidak layak mereka menujukan ibadah kepada selain Allah; sebab selain Allah tidak bisa mencipta, tidak menguasai alam semesta, dan bukan yang mendatangkan rezeki untuk mereka.
Sudah semestinya manusia mensyukuri nikmat kehidupan dan rezeki yang Allah berikan kepada mereka dengan beribadah kepada-Nya dan meninggalkan syirik. Ibadah kepada Allah (tauhid) merupakan bagian dari syukur kepada-Nya. Janganlah mereka seperti orang-orang yang ketika terjepit karena diterpa badai lautan memurnikan doanya kepada Allah kemudian setelah mereka diselamatkan oleh Allah ke daratan tiba-tiba mereka kembali berbuat kemusyrikan (silahkan baca Tafsir Surat al-’Ankabut ayat 65 karya Syaikh al-Utsaimin rahimahullah)
0 Komentar