Muhasabah

Gajah di Pelupuk Mata

Bismillah.

Kita mungkin pernah mendengar atau membaca ungkapan yang berbunyi ‘semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak’. Ungkapan ini kiranya patut untuk kita cermati untuk memperbaiki keadaan diri kita dan membersihkan hati dari berbagai perusaknya…

Saudaraku yang dirahmati Allah, secara tidak sadar kita seringkali menyalahkan orang atau pihak lain di luar diri kita karena berbagai bentuk permasalahan atau musibah yang menimpa masyarakat. Contoh yang sering kita jumpai adalah orang-orang yang gemar menyalahkan pemerintah dan menjelek-jelekkan penguasa di muka publik dengan alasan kebebasan berpendapat atau demokrasi…

Padahal apabila kita mau kembali meneliti dan menelaah permasalahan yang ada tentu tidak sesederhana itu. Ada banyak hal yang juga menjadi sebab munculnya masalah dari kalangan rakyat atau kita sendiri. Perubahaan keadaan dari baik menjadi buruk itu pun sumbernya dari perilaku manusia alias kita sendiri. Hal ini telah ditunjukkan oleh Allah di dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’d : 11)

Begitu pula di dalam al-Qur’an Allah menceritakan bahwa munculnya kerusakan di atas muka bumi; di daratan dan di lautan itu terjadi disebabkan ulah tangan-tangan manusia. Begitu pula ketika Allah mengisahkan suatu bentuk kekalahan yang dialami oleh pasukan Islam di masa silam dan mereka pun bertanya dari mana kekalahan itu datang, maka Allah pun menegaskan bahwa hal itu bersumber dari diri-diri kalian sendiri…

Begitu juga ketika Allah mengisahkan bagaimana ketika ujub/perasaan bangga diri menimpa sebagian kaum muslimin pada saat perang Hunain dan menimbulkan kekalahan di awal pertempuran sehingga sebagian pasukan pun lari tunggang-langgang…

Saudaraku yang dirahmati Allah, kita semua mungkin pernah membaca untaian doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Doa yang dibaca ketika sholat yaitu yang berbunyi ‘Allahumma inni zholamtu nafsi zhulman katsiiraa… dst’ dalam riwayat lain disebutkan ‘…zhulman kabiiraa..’ artinya : “Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak…”, di redaksi yang lain disebutkan ‘kezaliman yang besar…’

Kita tentu tidak meragukan kesalihan, ketakwaan dan keilmuan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada beliau -dengan ketinggian imannya- untuk membaca doa ini yang penuh dengan ketundukan dan pengakuan di hadapan Allah tentang kesalahan dan kezaliman yang sangat mungkin dilakukan olehnya sebagai seorang manusia…

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal. Menelaah aib yang ada pada diri dan amal perbuatan kita. Kita wajib melakukannya. Kita butuh untuk menyadari kelemahan dan kekurangan kita sebagai manusia yang sering terjatuh dalam salah dan dosa.

Bisa jadi kita lalai/ghoflah dalam sebagian waktu atau taqshir/tidak menunaikan kewajiban dengan semestinya di waktu yang lain. Terlalu banyak alasan yang mengharuskan kita untuk senantiasa bertaubat dan menyadari kekeliruan dan kekurangan kita dalam menghamba kepada Allah. Apabila manusia terbaik yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dalam sehari bisa beristighfar dan bertaubat kepada Allah sampai 100 x lebih; padahal Allah telah mengampuni semua dosa dan kesalahan beliau… lantas bagaimana lagi dengan kita?! Apakah kita layak untuk merasa bersih dari dosa dan kekeliruan?

Di sini lah kiranya seorang muslim memahami betapa besar kebutuhan dirinya untuk ber-muhasabah/introspeksi diri. Sebagaimana wasiat dari salaf, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab di akhirat, timbanglah amal-amal kalian sebelum kelak kalian akan ditimbang…” Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Beruntunglah orang yang banyak mengingat saat-saat datangnya kematian. Tidaklah seorang memperbanyak mengingat kematian kecuali akan tampak pengaruhnya di dalam amalnya.”

Rasa takut kepada Allah. Inilah akar ketaatan yang harus selalu kita pelihara dan kita pupuk. Pengagungan kepada Allah inilah spirit yang harus selalu kita jaga dan kita tumbuhkan di dalam hati. Jangan sampai kita termasuk orang yang melakukan kerusakan tetapi di saat yang sama kita justru merasa sebagai pembawa kebaikan dan pejuang kebenaran. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat ihsan/kebaikan dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik menggabungkan di dalam dirinya perbuatan jelek dan merasa aman.”

Tulisan ini tidaklah bertujuan untuk menghakimi orang lain. Kita semua sedang berusaha mendeteksi dan menemukan penyakit hati dan kerusakan yang ada pada perilaku dan sifat-sifat kita. Karena jika kita tidak mengetahui letak kesalahan dan kekeliruan itu tentulah kita akan selalu merasa di atas kebenaran dan tidak pernah sadar kalau dirinya terjatuh dalam dosa dan kezaliman…

Semoga Allah berikan taufik kepada kami dan para pembaca untuk menjadi pribadi yang tulus membenahi diri dan memberikan nasihat bagi sesama. Kepada Allah semata kita memohon pertolongan dan jalan keluar atas segala permasalahan kehidupan… Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahakuasa…

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *