Belajar Jarak Jauh

Masuk Surga Tanpa Hisab

Bismillah.

Alhamdulillah berikut ini kita kembali melanjutkan pembahasan seputar Kitab Tauhid. Sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai keutamaan tauhid.

Pada kesempatan ini kita akan masuk bab yang baru yaitu bab :

من حقق التوحيد دخل الجنة بغير حساب

“Barangsiapa yang merealisasikan tauhid maka dia akan masuk surga tanpa hisab.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘merealisasikan tauhid’ adalah memurnikan tauhid dari berbagai kotoran syirik, bid’ah dan maksiat.

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata :

هذا باب فيه أدلة من الكتاب والسنة تدل على أن من حقق التوحيد دخل الجنة بغير حساب ولا عذاب، لما ذكر التوحيد وفضله ناسب أن يذكر تحقيقه، فإنه لا يحصل كمال فضله إلا بكمال تحقيقه، وتحقيق التوحيد قدر زائد على ماهية التوحيد

Di dalam bab ini terdapat dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa barangsiapa yang merealisasikan tauhid maka dia akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Setelah beliau menyebutkan tentang tauhid dan keutamaannya maka sangat cocok untuk menyebutkan perealisasiannya, karena tidak akan tercapai keutamaannya secara sempurna kecuali dengan perealisasian yang sempurna. Perealisasian/tahqiq tauhid merupakan kadar tambahan di atas substansi tauhid itu sendiri (lihat Hasyiyah Kitab Tauhid)

Kemudian penulis membawakan dalil yang menunjukkan sifat-sifat orang yang telah mencapai puncak kesempurnaan dalam merealisasikan tauhid yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam; bapaknya para nabi dan imamnya ahli tauhid.

Allah berfirman :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/panutan, senantiasa patuh kepada Allah, hanif/bertauhid dan bukanlah dia termasuk dari golongan orang-orang musyrik.” (an-Nahl : 120)

Para ulama menyebutkan ada 4 sifat yang dipuji oleh Allah pada diri Nabi Ibrahim di dalam ayat ini :

Pertama; beliau adalah seorang umat; maksudnya seorang imam panutan yang mengajarkan kebaikan. Beliau menjadi teladan bagi orang lain.

Kedua; beliau selalu taat dan patuh kepada Allah

Ketiga; beliau orang yang hanif/condong kepada tauhid dan berpaling dari segala bentuk syirik. Terkandung dalam makna hanif adalah ikhlas beribadah kepada Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hakikat orang yang hanif adalah yang menghadapkan diri kepada Allah dan berpaling dari segala bentuk sesembahan selain-Nya.

Keempat; beliau bukan termasuk golongan orang-orang musyrik. Maksudnya beliau memisahkan diri dari orang-orang musyrik dengan hati, lisan dan anggota badannya. Beliau pun berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Oleh sebab itu beliau meninggalkan kaumnya yang menyembah berhala.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga menambahkan bahwa untuk merealisasikan tauhid ini seorang hamba membutuhkan ilmu, keyakinan dan kepatuhan. Tanpa ilmu maka dia akan berjalan di atas kebodohan. Tanpa keyakinan maka dia akan hanyut dalam keragu-raguan. Dan tanpa kepatuhan maka dia akan jatuh dalam berbagai bentuk pembangkangan.

Penulis juga membawakan dalil berikutnya mengenai sifat orang-orang yang merealisasikan tauhid. Yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ

“Dan orang-orang yang mereka itu kepada Rabbnya tidak mempersekutukan.” (al-Mu’minun : 59)

Hal itu menunjukkan bahwa mereka merealisasikan tauhid dengan sebenarnya sehingga mereka meninggalkan syirik. Mereka tidak beribadah kepada apa pun atau siapa pun selain Allah. Mereka mentauhidkan Allah. Mereka mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka itu tidak berbuat syirik besar dan meninggalkan syirik kecil. Karena amal tidak akan diterima apabila tercampuri dengan syirik.

Para ulama juga menjelaskan bahwa termasuk cakupan syirik dalam makna luas adalah segala bentuk maksiat, karena maksiat itu terjadi ketika seorang hamba menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah/sesembahannya. Sehingga tercakup dalam makna perealisasian tauhid di sini adalah dengan meninggalkan segala jenis maksiat. Bukan berarti dia tidak pernah berbuat maksiat, tetapi setiap kali dia terjerumus dalam dosa maka dia pun bertaubat.

Dari sinilah kita bisa mengetahui bahwa yang dimaksud merealisasikan tauhid di sini bukan sekedar bertauhid. Oleh sebab itu Syaikh Abdurrahman bin Qasim mengungkapkan bahwa tahqiq tauhid adalah qadrun zaa’idun ‘ala maahiyati tauhid; nilai lebih di atas substansi tauhid itu sendiri.

Dari sini kita juga mengetahui bahwa maksud dari bab sebelumnya adalah menjelaskan keutamaan tauhid secara umum yang membuat pemiliknya masuk ke dalam surga dan mendapatkan ampunan Allah sehingga bisa selamat dari kekalnya azab neraka. Adapun bab ini secara khusus menjelaskan keutamaan tauhid yang sempurna membuat pemiliknya masuk ke dalam surga tanpa hisab dan tanpa azab.

Insya Allah bersambung dalam seri pembahasan berikutnya…

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *