Muhasabah

Wani Perih Ra Wani Ngelih…

Bismillah.

Ya, mungkin teman-teman yang asli Jawa pernah mendengar dan paham makna kalimat di atas. ‘Wani perih’ artinya berani merasakan kepedihan, ‘ra wani ngelih’ artinya tidak berani merasakan lapar… Ungkapan yang kadang kita dengar dari sebagian orang tentang keadaan di tengah medan perjuangan…

Tidak kita ingkari bahwa setiap orang memiliki kemampuan dan batas kapasitasnya. Ada yang ahli dalam bidang teknis di lapangan, ada juga orang yang ahli dalam hal mengelola atau mengatur banyak orang. Semuanya memiliki peran dan fungsi yang tidak boleh diremehkan.

Ambil saja contoh tukang parkir atau tukang sapu. Ini bukan perkara sepele walaupun banyak orang menganggap remeh. Dalam kegiatan dakwah misalnya bagian parkir atau cuci-cuci piring dan gelas atau tukang sapu masjid dianggap bukan posisi yang terhormat. Ya, kita bahkan sering malu kalau dilihat orang yang kita segani ternyata kita sedang nyapu atau nyuci piring…

Padahal nilai suatu amalan bukanlah diukur sekedar dari penampilan fisiknya. Kita semua pernah belajar bahwa niat dan keikhlasan -yang itu berada di dalam hati- ternyata memiliki peran yang sangat besar dalam melipatgandakan pahala amalan yang kelihatan kecil dan sepele itu. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil juga karena niatnya.”

Banyak orang lebih memilih pekerjaan atau tugas dalam kepanitiaan yang dia anggap itu lebih nyaman atau tidak memberatkan. Mungkin bagi mereka menyapu halaman masjid itu tidak asyik atau tidak enak. Bagi mereka mungkin mencuci piring atau gelas yang digunakan dalam pengajian juga bukan pekerjaan yang bergengsi. Akhirnya muncullah ungkapan dari sebagian orang ‘wani perih ra wani ngelih’; berani merasakan kepedihan tetapi tidak mau kelaparan. Seolah-olah dia berkata; Yaa tidak mengapa dikasih tugas yang berat atau tidak enak asalkan ada imbalan; minimal ya makan-makan atau konsumsi lahh…

Hal ini mencerminkan keadaan banyak orang ketika diminta terlibat dalam program kebaikan atau dakwah yang mungkin itu terasa memberatkan. Sebab dia harus mengeluarkan tenaga, pikiran atau waktu, yang mungkin bisa dia gunakan untuk mencari keuntungan dunia atau minimal untuk bersantai-santai. Seperti itulah kondisi jiwa-jiwa manusia kecuali yang dirahmati Allah. Sebagaimana kita sering dengar ayat yang artinya, “Bahwa hawa nafsu itu sering mengajak/memerintahkan kepada keburukan…”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حُجِبَتِ النَّارُ بالشَّهَواتِ، وحُجِبَتِ الجَنَّةُ بالمَكارِهِ

“Neraka dikelilingi oleh hal-hal yang disukai oleh syahwat, sedangkan surga diliputi oleh perkara-perkara yang tidak menyenangkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menginginkan balasan atas pekerjaan memang tidak sepenuhnya tercela. Karena jika itu adalah pekerjaan yang bersifat profesional dan terikat dengan perjanjian kerja maka itu sangat wajar. Akan tetapi yang kita maksud dalam pembahasan ini adalah apa-apa yang menuntut kesadaran dan perjuangan dalam berdakwah dan beramal salih untuk kepentingan umum. Tentu di dalamnya dibutuhkan kepekaan dan kesadaran untuk melakukan yang terbaik walaupun bukan sesuatu yang menyenangkan bagi nafsu kita.

Ya, kadang orang yang memiliki harta atau kelapangan tidak menjumpai keadaan seperti itu. Sebab dia diuji dengan bentuk yang lain; karena dia tidak merasa butuh kepada harta atau makanan sekalipun dari orang lain. Akan tetapi dia condong untuk ‘memamerkan’ amal dan perannya di dalam dakwah; karena di dalam lubuk hatinya ia sangat haus akan pujian dan sanjungan… Jika ini yang terjadi maka sungguh ini adalah perkara yang amat tercela dan termasuk dosa besar; sebagaimana ma’ruf kisah tentang tiga orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat dan dibakar dengan api neraka…

Saudaraku yang dirahmati Allah, perkara ikhlas adalah perkara hati yang wajib kita jaga. Kita tidak sedang menuduh isi hati orang lain. Apa yang kita sampaikan di sini sekedar menjadi peringatan dan mungkin nasihat bagi diri kita masing-masing untuk lebih waspada dalam menjaga amalan. Dan belum tentu yang menyampaikan lebih ikhlas dan lebih bertakwa daripada yang membaca atau mendengarkan…

Kepada Allah semata kita memohon pertolongan dan hidayah dalam segala keadaan…

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *