Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila anda ingin melihat betapa besarnya nikmat Allah maka perhatikanlah keadaan umat manusia. Sinar matahari yang setiap hari menemani kehidupan mereka. Air yang mengalir dan mencukupi keperluan manusia. Bumi tempat dimana mereka berpijak dan mendirikan bangunan dan gedung-gedung megah di atasnya.
Akan tetapi saudaraku, dunia -dengan segala gemerlap dan kesenangannya- itu akan sirna. Ia akan berakhir dengan datangnya hari kiamat. Ketika itu bumi digoncangkan segoncang-goncangnya dan dikeluarkan dari dalamnya beban-beban berat yang terpendam di sana. Ketika matahari digulung dan langit pecah. Pada hari itu tiada lagi bermanfaat harta dan anak-anak kecuali bagi mereka yang menghadap Allah dengan hati yang selamat. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah berguna harta dan anak-anak kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)
Para ulama menjelaskan bahwa hati yang selamat adalah hati kaum beriman. Adapun hati kaum munafik mengandung penyakit keragu-raguan. Meskipun mengucapkan dua kalimat syahadat tetapi kaum munafik menipu Allah dan kaum beriman. Padahal sebenarnya tidaklah mereka tipu melainkan dirinya sendiri. Mereka riya’ kepada manusia, beribadah demi mengejar kedudukan dan pujian di mata manusia. Hal ini menunjukkan bahwa syahadat yang diterima adalah syahadat yang terucap dengan landasan keikhlasan dan kejujuran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka untuk menyiksa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang mengatakan : Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, sedangkan mereka itu bukanlah kaum beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, dan tidaklah mereka menipu selain dirinya sendiri, tetapi mereka tidak menyadarinya. Di dalam hatinya ada penyakit…” (al-Baqarah : 8-10)
Imam Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ‘penyakit’ yang disebutkan itu bermakna ‘keragu-raguan’. Demikian pula penafsiran dari ahli tafsir yang lain yaitu Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Abul ‘Aliyah, Rabi’ bin Anas, dan Qatadah. Adapun Ikrimah dan Thawus memberikan tafsiran bahwa yang dimaksud ‘penyakit’ itu adalah riya’ (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 1/64)
Hal ini menunjukkan kepada kita betapa berharganya nilai tauhid dan keikhlasan seorang muslim. Ia jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Sebab seandainya dunia dan seisinya digunakan untuk menebus azab Allah maka Allah tidak akan menerimanya dari orang kafir. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu seandainya mereka memiliki segala yang ada di bumi ini semuanya dan yang semisal itu bersamanya untuk menebus azab pada hari kiamat maka tidak akan diterima darinya, dan bagi mereka azab yang sangat pedih.” (al-Ma-idah : 36)
Sayangnya tidak sedikit manusia yang tadinya Allah berikan nikmat agama Islam ini lantas justru menjualnya kepada Iblis demi mendapatkan ceceran kesenangan dunia yang fana dan menipu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian melakukan amalan-amalan sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang beriman lalu di sore harinya menjadi kafir, atau di sore hari beriman tapi di keesokan harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan perhiasan dunia.” (HR. Muslim)
Apabila demikian tinggi nilai tauhid dan keikhlasan itu maka tentu tidak layak bagi kita menyepelekan majelis-majelis ilmu yang membahas tauhid dan aqidah Islam. Karena aqidah menjadi asas dan pondasi di dalam agama ini. Tidak akan diterima amal apapun tanpanya. Anda yang sudah merasa mengenal Islam bertahun-tahun lamanya. Anda yang sudah merasa belajar agama sekian tahun lamanya. Anda yang sudah merasa kenyang dengan kitab-kitab ulama. Jangan anda tertipu dengan ilmu yang anda peroleh atau sekian banyak ayat dan hadits yang anda hafalkan. Tidakkah anda ingat nasib orang yang menekuni ilmu agama dan membaca Kitabullah tetapi ternyata penyakit riya’ menggerogoti ilmu dan amalannya sehingga dia pun diputuskan untuk dilemparkan oleh Allah ke dalam api neraka. Mereka itulah diantara kelompok manusia yang api neraka dinyalakan pertama-tama dengan membakar mereka. Mereka bahkan disiksa sebelum disiksanya para pemuja berhala. Sehingga dikatakan oleh para ulama di dalam sebuah syair yang artinya, “Dan orang berilmu tetapi tidak mengamalkannya, akan disiksa sebelum disiksanya pemuja berhala.”
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya bersama-Ku ada selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu.” (HR. Muslim). Amal yang ikhlas adalah yang murni dikerjakan karena Allah, bukan untuk mencari pujian atau imbalan dari manusia. Allah menceritakan ucapan hamba-hamba Allah yang ikhlas dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanya untuk mencari wajah Allah, kami tidak menghendaki dari kalian balasan ataupun ucapan terima kasih.” (al-Insan : 9)
Begitu besar pengaruh keikhlasan itu sampai-sampai menyebabkan seorang yang bersedekah -walaupun bisa jadi itu kecil atau tidak seberapa besar- mendapatkan pahala yang begitu agung berupa diberi naungan oleh Allah di bawah naungan Arsy-Nya pada hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan seorang lelaki yang memberikan suatu bentuk sedekah seraya menyamarkannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Para ulama menyatakan bahwa hadits ini memberi faidah tentang keutamaan sedekah secara sirr/rahasia karena itu lebih dekat dengan keikhlasan.
Dari sinilah kita bisa mengetahui bahwa nilai amalan itu tidak bisa hanya diukur dengan besarnya sedekah yang diberikan atau berapa waktu yang diluangkan atau berapa tenaga yang dihabiskan. Lebih daripada itu ada sebab mendasar yang sangat menentukan nilai dan harga amalan itu di sisi Allah; yaitu apa-apa yang terdapat di dalam hati pelakunya berupa keimanan dan keikhlasan. Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa amal-amal itu -walaupun tampaknya sama secara lahiriah- tetapi ia menjadi bertingkat-tingkat keutamaannya karena apa yang ada di dalam hati pelakunya. Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya.”
Apa yang membuat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu melampaui keutamaan para sahabat yang lain -dengan segala keutamaan dan pengorbanan yang mereka berikan bagi Islam- kalau bukan karena apa-apa yang ada di dalam hatinya. Begitu pula apa yang membuat Uwais al-Qarani -orang yang disebut oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tabi’in terbaik- melebihi keutamaan para ulama tabi’in di masanya kalau bukan karena keikhlasan yang ada di dalam hatinya. Dan apakah gerangan yang membuat generasi sahabat menjadi umat terbaik kalau bukan karena kebersihan hati mereka dari kotoran syirik dan kemunafikan. Allah berfirman tentang para sahabat (yang artinya), “maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka…” (al-Fath : 18)
Inilah perkara yang sering dilalaikan oleh banyak orang. Mencermati gerak-gerik hatinya dari hal-hal yang bisa memalingkan keikhlasan dan ketulusan iman. Inilah yang juga diingatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam salah satu bagian faidah dari Kitab Tauhid, beliau mengingatkan tentang pentingnya ikhlas. Sebab banyak orang yang mengajak kepada kebenaran tetapi pada hakikatnya dia mengajak orang untuk kepentingan dirinya pribadi. Maka dari sinilah setiap da’i hendaknya kembali bercermin dan menata hati. Sudahkah kerja keras dan perjuangan yang selama ini dia lakukan -siang dan malam tanpa henti- murni karena Allah? Ataukah sebenarnya dia sedang menyimpan ambisi-ambisi dunia di balik amalnya? Kita berlindung kepada Allah dari rusaknya niat dan penyimpangan iman.
Semoga sedikit catatan ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
0 Komentar