AqidahHadits

Pondasi Iman

Bismillah.

Sebagaimana telah diketahui bahwa iman mencakup ucapan, perbuatan dan keyakinan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat kemaksiatan. Iman memiliki pokok-pokok dan cabang-cabang. Ada bagian dari iman yang jika ditinggalkan iman menjadi menyusut, dan ada pula yang jika ditinggalkan iman menjadi hilang.

Dalam hadits Jibril, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan enam perkara yang biasa disebut dengan istilah rukun iman; yaitu iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan iman kepada takdir. Keenam perkara ini merupakan pokok-pokok keimanan. Barangsiapa yang mengingkari salah satunya maka dia bukan termasuk golongan umat Islam.

Diantara para ulama yang memiliki perhatian besar dalam hal ini adalah para ulama hadits seperti Imam al-Bukhari rahimahullah. Di dalam kitab Sahih-nya beliau membuat bab-bab khusus seputar iman di bawah pembahasan Kitabul Iman. Bahkan pada bagian akhir kitab Sahih-nya beliau juga membuat pembahasan khusus tentang iman kepada Allah dalam Kitab Tauhid. Salah satu hadits yang dibawakan di dalamnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Yaman, yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari)

Tauhid kepada Allah merupakan kandungan dari rukun iman yang pertama. Makna tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah mereka harus beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu)

Iman kepada Allah juga mencakup keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Inilah yang biasa disebut oleh para ulama aqidah dengan tauhid rububiyah. Iman kepada Allah juga mengandung keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah; ini yang biasa disebut dengan tauhid ibadah atau tauhid uluhiyah. Adapun keimanan kepada Allah dalam hal kesempurnaan nama dan sifat-Nya; ini dikenal dengan nama tauhid asma’ wa shifat.

Ilmu tauhid dan aqidah ini sudah mendapatkan perhatian besar dari para ulama sejak dahulu kala. Oleh sebab itu banyak kita temukan para ulama menyusun pembahasan khusus mengenai hal itu, sebagaimana sudah kita sebutkan yaitu Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya. Sebelum itu ada juga Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyusun kitab Ushul as-Sunnah yang juga menjelaskan pokok-pokok keyakinan dan jalan beragama kaum muslimin. Ada banyak ulama yang menjelaskan masalah aqidah dengan judul kitab yang beraneka ragam. Ada yang berjudul ‘iman’, ada juga yang diberi nama at-Tauhid, ada juga yang diberi nama asy-Syari’ah, ada juga as-Sunnah, dsb.

Dengan mempelajari aqidah inilah kita akan bisa terhindar dari berbagai pemahaman sesat dan menyimpang semacam Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, Syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, dsb. Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini begitu banyak pemikiran dan ideologi yang dipasarkan dengan mengatasnamakan kebebasan dan demokrasi. Apabila seorang muslim tidak membekali dirinya dengan aqidah yang lurus niscaya ia akan hanyut dan tenggelam dalam berbagai bentuk aliran pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

Ketika banyak orang terseret dalam pemahaman yang menyimpang sementara aqidah yang lurus banyak tidak dikenali kaum muslimin maka pada saat itulah orang yang berpegang teguh dengan ajaran Islam yang murni akan mengalami keterasingan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing, dan ia akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim)

Orang yang rajin sholat berjamaah di masjid dituduh sebagai radikal. Orang yang rajin ikut pengajian sunnah dianggap sebagai penganut aliran sesat. Orang yang berupaya kembali kepada pemahaman para sahabat dianggap sebagai perusak tatanan masyarakat. Orang yang berpegang teguh dengan syariat dinilai jumud dan kaku, sementara orang yang larut dalam hawa nafsu dianggap sebagai bentuk kemajuan dan menjunjung tinggi Hak Asasi…

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat pun heran dan bertanya, “Wahai Rasulullah siapakah orang yang enggan itu?” beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dia itulah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)

Wallahu a’lam bish shawaab.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *