# Andai Menjadi Tanah….
Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah menjelaskan :
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ}“: هذه هي الغاية العظمى من خلق الجن والإنس، وإذا تخلى الواحد من الجن والإنس من المكلفين منهم عن تحقيق هذه الغاية صار لا فرق بينه وبين سائر المخلوقات، لا فرق بينه وبين البهائم غير المكلفة، إلا أن التبعة عليه أعظم؛ لأن غير المكلفين لا يعاقبون ولا يؤاخذون، ولذا يقول الكافر حينما يرى البهائم بعد الاقتصاص منها والمقاصة تكون تراباً، فحينئذ يقول الكافر: {يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا} [(40) سورة النبأ].
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Ini merupakan tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Apabila ada salah satu individu dari kalangan jin atau manusia yang terbebani syari’at tidak menunaikan kewajiban ini maka menjadi tidak ada bedanya antara dirinya dengan makhluk-makhluk lainnya; tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan-hewan yang tidak diberi beban syari’at. Hanya saja resiko yang harus mereka tanggung jelas lebih berat. Karena mereka yang tidak terbebani syari’at tidak akan dihukum dan tidak diberi siksaan. Oleh sebab itu orang kafir mengatakan tatkala melihat hewan-hewan setelah terjadi qishash/hukum balas di akhirat antara sesama mereka maka mereka pun berubah menjadi tanah. Ketika itulah orang kafir berkata, “Aduhai, andaikata aku menjadi tanah saja.” (an-Naba’ : 40)
(lihat Transkrip Syarh Kitab Tauhid, bagian 1, hlm. 13)
# Cakupan Ibadah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa ucapan dan amalan; baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Di dalam ibadah itu tergabung antara kesempurnaan rasa cinta dan puncaknya dengan kesempurnaan perendahan diri dan puncaknya. Kehendak Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah, ini disebut dengan istilah irodah diniyah (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh rahimahullah dalam Qurratul ‘Uyun, hlm. 3)
Setiap kali ada perintah untuk beribadah di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah perintah untuk mengesakan Allah dalam menujukan segala bentuk ibadah (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hlm. 13)
# Mengungkap Hakikat Tauhid
Di dalam pencantuman ayat tersebut -adz-Dzariyat : 56- di awal Kitab Tauhid kita bisa melihat betapa jelinya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam menyusun buku ini. Beliau ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakikat dari tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah, bukan sekedar keyakinan tentang rububiyah Allah -yaitu Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dsb- (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/31)
# Fenomena Mengherankan
Salah satu fenomena yang cukup mengherankan adalah apa yang dilakukan oleh kebanyakan para penulis pelajaran tauhid dari kalangan muta’akhkhirin (orang belakangan) yang lebih memfokuskan pembahasan tauhid dalam persoalan tauhid rububiyah, seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu kaum yang mengingkari keberadaan Allah. Walaupun ada sebagian kecil orang yang demikian akan tetapi sesungguhnya masih banyak kaum muslimin yang terjerumus dalam syirik dalam hal ibadah. Mereka mengira dirinya muslim padahal mereka berbuat syirik dalam hal ibadah (lihat keterangan Syaikh al-Utsaimin rahimahullah dalam al-Qaul al-Mufid, 1/11)
# Pengakuan Musyrikin terhadap Rububiyah Allah
Kaum musyrikin telah mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah. Yaitu meyakini bahwa Allah satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah -kepada mereka-; Siapakah Rabb yang menguasai langit yang tujuh dan Rabb pemilik Arsy yang sangat agung. Niscaya mereka menjawab; milik Allah.” (al-Mu’minun : 86-87)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka; maka mereka akan menjawab ‘Allah’.” (az-Zukhruf : 87)
# Pokok Keikhlasan
Ikhlas adalah anda beribadah kepada Allah semata dan tidak beribadah kepada selain-Nya. Anda tidak mempersekutukan bersama Allah suatu sesembahan selain-Nya. Karena orang musyrik beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain-Nya. Mereka berdoa kepada Allah tetapi mereka juga berdoa kepada selain Allah. Mereka menyembelih untuk Allah dan mereka juga menyembelih untuk sesembahan selain Allah. Ikhlas inilah yang membedakan antara agama kaum muslimin dengan agama kaum musyrikin (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh Ushul Tsalatsah, hlm. 32 cet. Madarul Wathan)
# Seruan Dakwah Para Rasul
Oleh sebab itulah para rasul tidak menjadikan tauhid rububiyah sebagai target utama dakwahnya. Yang paling mereka tekankan adalah agar umat beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya.
Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raf : 59)
Nabi Hud ‘alaihis salam berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raf : 65)
Nabi Salih ‘alaihis salam berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raf : 73)
Nabi Syu’aib ‘alaihis salam berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raf : 85)
# Tanggapan Kaum Musyrik terhadap Dakwah Tauhid
Orang-orang musyrik dari sejak dahulu hingga sekarang memandang bahwa ajakan untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya adalah perkara yang sangat mengherankan. Allah berfirman (yang artinya), “[mereka mengatakan] Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar mengherankan.” (Shad : 5)
Bahkan saking bencinya mereka kepada dakwah tauhid ini mereka pun menggelari penyeru dakwah tauhid sebagai tukang sihir dan pembohong berat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang kafir itu mengatakan; Ini adalah tukang sihir dan pembohong berat.” (Shad : 4)
Nabi Hud ‘alaihis salam yang mengajak kaumnya untuk bertauhid pun mendapatkan cemoohan dan tuduhan keji akibat dakwahnya. Allah berfirman (yang artinya), “Berkatalah orang-orang yang kafir dari kalangan kaumnya; Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam kedunguan, dan kami benar-benar mengira bahwa kamu termasuk para pendusta.” (al-A’raf : 66)
Begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajak kaumnya agar kembali kepada fitrah untuk bertauhid, mereka (kaum kafir Quraisy) justru menggelari beliau dengan julukan si tukang sya’ir dan orang gila. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti seorang tukang sya’ir yang gila.” (ash-Shaffat : 35-36)
# Kekompakan Dakwah Para Rasul
Oleh sebab itu kita dapati segenap rasul selalu memprioritaskan dakwah tauhid ini; yaitu ajakan untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Tidak ada seorang rasul pun yang mengajarkan penghambaan kepada selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Silahkan kamu tanyakan kepada orang-orang yang telah Kami utus sebelum kamu diantara rasul-rasul kami; Apakah kami menjadikan selain (Allah) ar-Rahman ada sesembahan-sesembahan lain untuk disembah.” (az-Zukhruf : 45)
Syaikh Abdussalam Barjas rahimahullah mengatakan, “Maknanya tidak ada seorang pun diantara para rasul yang mengajak untuk beribadah kepada sesembahan-sesembahan tandingan bagi Allah. Bahkan mereka semuanya dari awal sampai akhir menyerukan peribadatan kepada Allah semata yang tidak boleh ada sekutu bagi-Nya.” (lihat al-Mu’taqad ash-Shahih, hlm. 28)
# Syubhat Kaum Musyrikin
Kaum musyrik di sepanjang masa selalu berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan mereka. Diantara alasan palsu mereka adalah demi mendapatkan syafa’at. Padahal syafa’at adalah milik Allah, bukan wewenang sosok-sosok yang mereka mintai yang sudah mati (wali atau nabi). Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah sesuatu yang tidak mendatangkan bahaya atau manfaat kepada mereka. Mereka mengatakan ‘Mereka ini adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah. Katakanlah; Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya di langit dan di bumi, maha suci dan maha tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan itu.” (Yunus : 18)
# Pemurnian Ibadah Kepada Allah
Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Dengan beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik maka mereka telah melakukan amalan yang paling utama. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Amalan yang terbaik adalah yang paling murni untuk Allah dan paling sesuai dengan tuntunan Rasul. Oleh sebab itu ketika ditanya mengenai amalan apakah yang paling utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah kepada Allah tidak dianggap sebagai ibadah apabila tidak dilandasi dengan tauhid. Dan ibadah kepada Allah tidaklah dikatakan benar kecuali apabila sesuai dengan ajaran Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kandungan dari dua kalimat syahadat ‘laa ilaha illallah wa anna muhammadar rasulullah’. Syahadat yang pertama mewajibkan pemurnian ibadah untuk Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Adapun syahadat yang kedua mewajibkan pemurnian ittiba’/pengikutan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ibadah dan melakukan amal-amal yang diperintahkan di dalam agama.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
0 Komentar