IbadahPenyucian Jiwa

Ramadhan dan Tauhid

Bismillah.

Salah satu keutamaan bulan Ramadhan adalah ia merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa awal mula turunnya al-Qur’an adalah pada malam Qadar/lailatul qadar sementara lailatul qadar itu ada di bulan Ramadhan. Bahkan di dalam al-Qur’an pun ditegaskan bahwa pada bulan Ramadhan itulah al-Qur’an diturunkan.

Sementara al-Qur’an itu sendiri dari awal sampai akhir membahas paling utama berkaitan dengan tauhid atau aqidah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dan diamini pula oleh Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi bahwa al-Qur’an seluruhnya membicarakan tentang tauhid dari berbagai aspeknya. Hal itu tentu tidak aneh karena tauhid merupakan asas dakwah para nabi dan rasul dan pondasi agama Islam.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiya’ : 25)

Kedudukan tauhid bagi amal salih bagikan pondasi dalam sebuah bangunan. Tidak akan diterima amalan yang tidak dibangun di atas tauhid dan keikhlasan. Bahkan besar kecilnya pahala yang diperoleh juga amat sangat bergantung dengan apa-apa yang tertanam dalam hati seorang muslim berupa iman dan keikhlasan. Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal besar berubah menjadi kecil/tidak berarti juga karena niatnya.”

Ibadah puasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan tauhid dan keikhlasan. Sampai-sampai dikatakan oleh para ulama bahwa puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Bahkan disebutkan pula bahwa puasa adalah bentuk ibadah yang tidak bisa dicampuri dengan riya’. Berbeda dengan amal yang lain semacam sholat, bersedekah, berjihad, berdakwah, membaca qur’an; ini semua sangat bisa dimasuki oleh riya’.

Hakikat tauhid sebagaimana telah kita ketahui adalah pemurnian Allah dalam hal ibadah. Menujukan ibadah itu hanya kepada Allah dan membersihkan diri dari segala bentuk syirik. Diantara bentuk ibadah yang paling agung adalah kesabaran. Di dalam ibadah puasa telah tercakup berbagai bentuk kesabaran. Sabar dalam melakukan perintah Allah maka ini juga bagian dari tauhid dan keimanan. Sabar dalam menjauhi larangan Allah juga bagian dari tauhid dan ketaatan. Begitu juga sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa pahit dan menyakitkan.

Dari sisi yang lain kita juga bisa mengetahui bahwa puasa juga merupakan bentuk syukur kepada Allah. Karena semua bentuk amal ibadah adalah bagian dari syukur. Sebagaimana diterangkan para ulama bahwa hakikat syukur adalah taat kepada Allah yang telah memberikan nikmat-nikmat itu kepada kita. Dengan ibadah puasa itu sendiri seorang muslim akan digembleng untuk menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat Allah berupa makanan dan minuman. Karena dia telah merasakan pedihnya rasa haus dan lapar.

Puasa lebih jauh lagi membina keikhlasan; karena orang yang berpuasa tidak mengharapkan pujian dari manusia atas puasanya. Dia hanya mengharapkan ridha Allah dan pahala dari-Nya. Dia berpuasa murni karena tunduk kepada aturan dan hukum Allah, bukan karena dorongan yang lain. Dia tinggalkan makanan dan minuman -yang asalnya halal baginya- murni karena Allah. Walaupun lapar dan haus itu terasa berat baginya.

Puasa Ramadhan juga menyimpang pelajaran iman yang sangat berharga. Bahwa suatu beban yang berat atau tugas yang besar -sebagaimana ibadah puasa yang secara umum dirasakan berat- akan menjadi terasa ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam hadits bahwa orang beriman satu sama lain ibarat sebuah bangunan; yang mana bagian yang satu menopang dan memperkuat bagian yang lain.

Bulan Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk kembali membentengi iman dan tauhid dari segala hal yang merusak dan mengotorinya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Wabil ash-Shayyib bahwa bukanlah yang menjadi ukuran adalah sekedar melakukan amalan -karena pada dasarnya semua orang bisa melakukan amal salih- tetapi yang jadi masalah adalah bagaimana cara untuk menjaga amal itu dari perusaknya.

Ramadhan adalah madrasah untuk memupuk kepedulian dan kesalihan. Menjadikan diri kita lebih bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Untuk bisa mewujudkan itu tentu tidak bisa lepas dari keikhlasan. Karena salah satu manfaat ikhlas adalah menjadikan sesuatu yang berat menjadi terasa ringan. Tentu tidak sama orang yang beramal di bulan Ramadhan dengan penuh ikhlas dengan orang yang amalnya tercemari oleh ujub dan riya’.

Orang yang ikhlas akan berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan keburukan-keburukannya. Orang yang berpuasa pun tidak perlu menampakkan puasanya -karena pada dasarnya puasa adalah bentuk ibadah yang memang tidak tampak- agar pahalanya sempurna. Puasa pun mengajarkan kepada kita perasaan diawasi oleh Allah atau yang disebut dengan istilah muroqobah.

Oleh sebab itu orang yang berpuasa karena Allah tidak tertarik untuk makan dan minum walaupun tidak ada orang yang melihatnya. Dia akan menikmati makan dan minum apabila saat berbuka memang sudah tiba. Dia pun akan berhenti makan sahur jika adzan subuh sudah berkumandang.

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *