Mutiara HikmahPenyucian Jiwa

Orang Berakal

Bismillah.

Salah satu faidah menarik yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam websitenya adalah berkaitan dengan hakikat akal dan buah daripada ilmu agama.

Beliau menukil ucapan Sufyan bin Uyainah rahimahullah :

لَيْسَ الْعَاقِلُ الَّذِي يَعْرِفُ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ , وَلَكِنَّ الْعَاقِلَ الَّذِي يَعْرِفُ الْخَيْرَ فَيَتَّبِعُهُ وَيَعْرِفُ الشَّرَّ فَيَتَجَنَّبُهُ

“Bukanlah orang yang berakal yang sekedar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi hakikat orang yang berakal yaitu yang mengenali kebaikan lalu mengikutinya dan mengenali keburukan lalu menjauhinya.” (al-‘Aqlu wa Fadhluhu karya Ibnu Abi Dun-ya no. 56)

Kemudian, Syaikh Abdurrazzaq berkata :

وذلك أنَّ مقصود العلم العمل، وإلا فما فائدة العلم إذا ترك العمل

“Yang demikian itu karena sesungguhnya tujuan dari ilmu adalah untuk diamalkan. Kalau tidak begitu maka apa gunanya ilmu jika tidak diamalkan.”

Sumber : Atsar wa Ta’liq; http://al-badr.net/muqolat/3140

Maka orang yang benar-benar berakal atau orang yang cerdas adalah yang beramal dengan ilmunya. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa ilmu belaka tidaklah terpuji jika tidak disertai dengan amal. Inilah salah satu sebab lebih mulia dan lebih utamanya ilmu para ulama salaf; karena mereka orang-orang terdepan dalam mengamalkan ilmunya. Di samping itu mereka juga orang yang paling keras usahanya dalam membersihkan amalnya dari niat-niat yang buruk atau kotoran-kotoran hati.

Dengan demikian, kita juga bisa mengerti bahwa hakikat ilmu dan kecerdasan bukanlah dinilai dari nilai hasil ujian sekolah, atau indeks prestasi materi kuliah agama, atau deretan titel yang dimiliki, atau jabatan tinggi dalam sebuah organisasi atau yayasan dakwah, atau pun sekedar panggilan ‘ustadz’ atau ‘kiyai’. Sungguh benar perkataan sebagian ulama, “Orang yang berakal itu adalah yang menyadari kapasitas dan kekurangan dirinya dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang yang tidak mengenali hakikat dan kekurangan dirinya.”

Sehingga sebagian ulama salaf pun berkata, “Seandainya dosa-dosa itu menimbulkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang bersedia untuk duduk/belajar bersamaku.” Dosa atau kesalahan yang diperbuat selalu terpampang dalam benaknya sehingga menghadirkan perasaan khawatir dan cemas sehingga mendorong mereka untuk terus bertaubat dan merendahkan diri di hadapan Allah…

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan ungkapan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; menelaah dan menyadari banyaknya aib pada diri dan amal perbuatan kita. Inilah prinsip hidup seorang muslim… Abuu’u bi dzanbii faghfirlii… Ya Allah aku mengakui segala dosaku maka ampunilah diriku ini… Bukanlah jalan kaum beriman berbangga diri atau merasa aman dengan dosa dan pelanggaran…

Wallahul musta’aan.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *