Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, merupakan sunnatullah di atas muka bumi ini bahwa perjalanan menuju keutamaan dan kemuliaan selalu berhadapan dengan rintangan dan cobaan.

Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan; Kami telah beriman, lantas mereka tidak diberikan ujian?…” (al-’Ankabut : 2)

Ujian yang dihadapi oleh manusia itu bermacam-macam. Ada orang yang diuji dengan kekayaan dan berbagai kemudahan fasilitas. Ada pula yang diuji dengan kemiskinan dan penyakit serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Ujian demi ujian diberikan oleh Allah kepada kita untuk menampakkan sejauh mana kualitas keimanan seorang hamba.

Kita tentu masih ingat bagaimana sikap dan kesadaran Nabi Sulaiman ‘alaihis salam yang menyandarkan nikmat dan keutamaan yang beliau dapatkan kepada Allah semata. ‘Ini adalah keutamaan yang diberikan oleh Rabbku; untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur atau justru kufur.’ Demikian cerminan kokohnya iman pada diri beliau.

Sebaliknya, lemahnya iman dan kotornya kedurhakaan telah menyembulkan kesombongan pada diri Qarun yang dengan pongah berkata, ‘Sesungguhnya ini semuanya -harta dan kemewahan- yang diberikan kepadaku adalah disebabkan ilmu yang aku miliki’. Dia lupa akan karunia Allah kepada dirinya. Sehingga dia menyandarkan prestasi itu kepada jerih payah dan kemampuannya.

Kita tentu masih ingat bagaimana ujian berupa penyakit telah diterima oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam dan beliau pun bersabar dalam menghadapinya. Begitu pula musibah yang dialami oleh Nabi Ya’qub ‘alaihis salam ketika kehilangan putranya Yusuf yang sangat beliau sayangi. Mereka menghadapi cobaan dan musibah itu dengan penuh keimanan dan ketabahan.

Cobaan demi cobaan dan gangguan demi gangguan ditemui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama periode Mekah, bahkan begitu pula ketika sudah berpindah ke Madinah. Gangguan dari musuh-musuh dakwah Islam. Semuanya beliau hadapi dengan penuh kesabaran. Beliau pernah dilempari dengan batu, beliau pun pernah ditimpakan kotoran perut onta di atas punggungnya ketika sedang sujud dalam sholatnya. Meskipun demikian beliau terus saja berdakwah dan mengharapkan kebaikan untuk umatnya.

Saudaraku yang dirahmati Allah, jalan keselamatan dalam mengarungi kehidupan dunia ini ada pada ilmu agama. Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu agama Islam inilah kunci kebaikan hidup umat manusia.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” Nukilan ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah.

Ilmu yang mendatangkan keselamatan itu adalah ilmu yang membuahkan keimanan dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah rasa takut kepada Allah.” Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi iman adalah apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”

Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita dalam setiap rakaat sholat untuk berdoa kepada Allah memohon petunjuk jalan yang lurus. Jalan yang menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal salih. Bukan jalannya orang yang dimurkai karena tidak beramal dengan ilmunya. Dan bukan jalannya orang yang sesat akibat beramal tanpa ilmu.

Apabila seorang muslim menyadari hal ini dengan baik, niscaya dia akan berusaha memanfaatkan waktunya dalam kebaikan dan amal salih. Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari demi hari. Setiap hari berlalu maka lenyaplah sebagian dari dirimu.” Karena itulah Allah memerintahkan kepada kita untuk banyak-banyak berdzikir kepada-Nya. Dzikir dengan hati dan juga lisan. Orang yang selalu menghiasi waktunya dengan dzikir kepada Allah akan mendapatkan ketentraman dan bantuan dari Allah…

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Maka bagaimanakah kiranya keadaan si ikan apabila dia memisahkan dirinya dari air?” Perkataan ini dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Wabil ash-Shayyib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Perumpamaan orang yang rajin mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)

Ilmu, amal, dan dzikir kepada Allah tidak akan berharga jika tidak dilandasi dengan tauhid, iman dan keikhlasan. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal besar menjadi kecil juga karena niatnya.” Karena itu para ulama mengatakan bahwa keutamaan amal itu berbeda-beda sesuai dengan apa yang ada dalam hati pelakunya berupa iman dan keikhlasan. Para ulama salaf juga berjuang keras untuk bisa meraih keikhlasan. Sebagian mereka berkata, “Tidaklah aku berjuang dengan perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk meraih keikhlasan.”

Sebagian salaf juga berkata, “Orang yang ikhlas itu berusaha menyembunyikan amal-amal kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan keburukan-keburukan yang ada pada dirinya.” Keikhlasan inilah yang mengangkat derajat para pendahulu umat ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in. Allah telah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com  


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *