Bismillah…

Salah satu perkara yang sering dilupakan oleh manusia adalah kenikmatan beribadah kepada Allah. Padahal ia merupakan bentuk nikmat yang sangat besar dan dibutuhkan oleh setiap insan. Ibadah inilah tujuan dan hikmah penciptaan segenap jin dan manusia di atas muka bumi.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Dengan demikian menjauhkan manusia dari beribadah kepada Allah merupakan kesesatan dan penyimpangan dari jalan kebenaran.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi teladan dan panutan bagi manusia adalah orang yang paling merasakan dan menunjukkan begitu nikmatnya ibadah itu dalam hidupnya. Sehingga hari demi hari dan tempat demi tempat beliau lalui dengan berbagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. Mulai dari bangun di pagi hari dengan disertai dzikir, doa dan ibadah sholat setiap hari. Begitu juga dengan kelezatan sholat yang beliau rasakan hingga menyejukkan hati.

Kita dapati para sahabat dan salafus shalih menemukan kebahagiaan dan kelezatan dalam beribadah kepada Allah dan merenungkan keindahan ayat-ayat Allah serta mengingat Allah dalam segala kondisi. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menggambarkan kedudukan dzikir yang sangat penting dalam hidup, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, maka bagaimanakah kiranya keadaan seekor ikan apabila ia memisahkan diri dari air?”. Termasuk bentuk dzikir yang paling utama selain sholat adalah dengan membaca al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahkan mengatakan, “Seandainya hati kita ini bersih niscaya ia tidak akan pernah merasa kenyang untuk menikmati kalam Rabb kita; yaitu bacaan al-Qur’an.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR. Muslim). Lezatnya iman dan ketaatan ini hanya bisa dirasakan oleh seorang hamba yang hatinya bersih dari syirik, bersih dari hasad, bersih dari riya’, bersih dari ujub, hati yang penuh dengan kekhusyu’an, kecintaan kepada Allah, harapan kepada-Nya, tawakal kepada-Nya dan ikhlas beramal untuk mencari wajah-Nya…

Kelezatan mengenal Allah inilah yang membuat mereka berkorban di jalan Allah, berjuang menegakkan tauhid dan mencurahkan segala daya upaya dalam mempertahankan iman dan aqidah Islam. Sebagian salaf berkata, “Seandainya para raja dan putra-putra mahkota mengetahui apa-apa yang kami rasakan dari kenikmatan dalam berbadah dan menimba ilmu agama; niscaya mereka akan berusaha untuk merebutnya dari kami dengan pedang-pedang mereka…”

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penghuni dunia; mereka keluar dari dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik/nikmat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling nikmat di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah, mencintai-Nya dan merasa tentram bersama-Nya.”

Tidakkah kita ingat bagaimana kisah kepahlawanan para sahabat ketika menjaga pasukan dan terkena tembakan anak panah dari musuh dalam keadaan dia sedang menunaikan sholat dan dia tidak mau memutuskan sholatnya; karena sedemikian nikmat dan lezat sholat itu di dalam hatinya… Mereka memiliki badan dan anggota tubuh serta indera sebagaimana kita, tetapi apa-apa yang ada di dalam hati mereka berupa keimanan, keikhlasan, kecintaan dan ketulusan tidak sama dengan apa yang ada di dalam hati kita…

Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu bahkan menggambarkan tentang begitu hebatnya keimanan seorang Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Seandainya iman Abu Bakar ditimbang dan dibandingkan dengan beratnya timbangan iman seluruh umat manusia -setelah para nabi- niscaya lebih berat bobot timbangan keimanan yang ada dalam diri Abu Bakar.”

Oleh sebab itu kita dapati para ulama salaf sangat perhatian dalam menjaga amalan-amalan hati, karena ia yang menjadi penggerak amal-amal anggota badan. Para ulama menjelaskan bahwa sesungguhnya amal-amal itu memiliki tingkatan keutamaan yang berbeda-beda berdasarkan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya berupa iman, tauhid dan keikhlasan.

Bukan hanya mobil, kendaraan atau rumah yang perlu untuk dijaga dan dirawat. Bahkan hati manusia merupakan sesuatu yang paling berharga untuk dibenahi dan dipelihara sepanjang hari. Bagaimana seorang bisa merasakan lezatnya ibadah apabila waktu demi waktu hatinya terus dikotori dengan dosa, dicemari dengan syubhat, dan dilemahkan dengan maksiat?! Oleh sebab itulah untuk membersihkannya dibutuhkan taubat dan taubat sepanjang waktu. Istighfar yang rutin dan kontinyu.

Karena itulah kalimat yang sering terucap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa, istighfar dan taubat. Dalam sebuah majelis bisa sampai 100 kali beliau beristighfar. Begitu pula setiap kali selesai sholat fardhu beliau mengucapkan istighfar 3 kali. Sebagaimana indahnya dzikir yang senantiasa menghiasi hati dan lisannya. Kekuatan syukur yang selalu beliau bangun dengan hati, lisan dan anggota badannya. Kekuatan sabar yang selalu beliau teguhkan dalam segala kondisi dan cobaan.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’a’anhu berkata, “Sabar di dalam iman seperti kepala bagi segenap anggota badan, apabila kepala sudah terputus maka tidak ada lagi kehidupan bagi badan.” Beliau pun berkata, “Ingatlah, bahwa tidak ada iman pada diri orang yang tidak memiliki kesabaran.” Sabar, syukur dan istighfar ini semuanya berakar dan tumbuh dari amalan-amalan hati…

Wallahu a’lam.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *