AdabManhajNasehat

Doa Seorang Guru

Bismillah.

Tidaklah diragukan bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi setiap manusia. Islam menuntun manusia agar terlepas dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Dan diantara sarana untuk menyebarkan rahmat itu adalah dengan untaian doa.

Seorang ulama besar dan guru pelajaran Islam bernama Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalahnya al-Qawa’id al-Arba’ (empat kaidah utama) memanjatkan doa-doa yang bertujuan terwujudnya kebaikan bagi para murid dan pembaca risalahnya. Sebuah untaian doa yang mencerminkan kecintaan dan nasihat seorang guru bagi umatnya.

Beliau berkata : Aku memohon kepada Allah Yang Mahapemurah Rabb pemilik Arsy yang sangat besar, semoga Allah menjadi penolongmu di dunia dan di akhirat, dan semoga Allah menjadikan kamu diberkahi dimana pun berada. Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang apabila diberi nikmat bersyukur, apabila diberi cobaan/musibah bersabar, dan apabila berbuat dosa segera beristighfar. Karena sesungguhnya ketiga hal ini adalah tanda-tanda kebahagiaan.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita tidak meragukan bahwa doa adalah ibadah yang sangat mulia. Sampai-sampai Allah memerintahkan ibadah yang agung ini dan memberikan ancaman keras bagi mereka yang meninggalkannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian mengatakan; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)

Mendokan kebaikan bagi sesama muslim adalah sebuah amalan yang sangat utama. Karena hal itu mencerminkan rasa cinta bagi saudaranya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam dunia pendidikan dan dakwah, doa seorang guru memiliki peran yang sangat besar dalam proses perubahan menuju arah yang lebih baik. Dalam hadits diceritakan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kaum Anshar. Beliau berkata, “Ya Allah, ampunilah kaum Anshar, dan anak-anak kaum Anshar, dan anak-anak dari anak-anak kaum Anshar.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya ketika dia tidak ada bersamanya kecuali malaikat akan mengatakan kepadanya, ‘Dan semoga kamu juga mendapatkan kebaikan serupa’.” (HR. Muslim)

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi kaum Muhajirin dan Anshar. Beliau berkata, “Tidak ada kehidupan hakiki selain kehidupan akhirat, maka ya Allah perbaikilah keadaan Kaum Anshar dan Muhajirin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu besar kedudukan doa ini sampai-sampai di dalam pembahasan aqidah pun kita dapati terdapat anjuran untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah kaum muslimin. Sehingga dikatakan oleh Imam al-Barbahari rahimahullah, “Apabila kamu melihat orang yang mendoakan kebaikan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut Sunnah, dan apabila kamu melihat ada orang yang suka mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia adalah seorang pengikut hawa nafsu/penyimpangan manhaj.”

Seorang ulama tabi’in bernama Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Seandainya aku memiliki sebuah doa yang mustajab/pasti dikabulkan maka niscaya aku akan peruntukkan doaku itu demi kebaikan penguasa.”  

Dalam sebuah suratnya kepada menteri yang mewakili khalifah al-Mutawakkil kala itu, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga mendoakan kebaikan bagi penguasa pada masa itu. Beliau berkata, “Dan sesungguhnya aku memohon kepada Allah ‘azza wa jalla untuk melanggengkan taufik/hidayah bagi Amirul Mu’minin/khalifah; semoga Allah memuliakan dan menolongnya…” (lihat al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah wal Atsar, hlm. 395)

Begitu pula pada bagian awal risalah atau surat yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal kepada seorang yang mengajukan pertanyaan kepadanya. Beliau berkata, “Semoga Allah berbuat baik kepada kami dan kalian dalam segala urusan, dan semoga Allah menyelamatkan kamu dan kami dari segala keburukan dengan rahmat-Nya.” (lihat al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il, hlm. 411)

Hal ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa para ulama salaf tidak lalai dari mendoakan kebaikan bagi manusia, baik itu penguasa maupun rakyat biasa. Sesungguhnya doa dari seorang guru bagi kebaikan murid-muridnya adalah jalan penghambaan kepada Allah. Sebuah kejujuran sikap hamba yang mengakui bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa di hadapan Rabbnya. Allah semata yang menguasai dan mengatur segala urusan di langit dan di bumi, sekecil apapun itu.

Sebaliknya, sudah menjadi kelaziman bagi para murid untuk mendoakan kebaikan bagi guru-gurunya. Dan demikianlah teladan yang diberikan oleh para ulama kita dari masa ke masa. Mereka selalu mendoakan kebaikan dan rahmat serta ampunan bagi guru-gurunya; baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup di alam dunia.

Inilah salah satu keutamaan yang Allah berikan kepada Ahlus Sunnah, ketika mereka tidak lupa dan tidak lalai untuk mendoakan kebaikan bagi para pendahulunya. Sebagaimana kita diajarkan untuk mendoakan para sahabat agar mereka diridhai oleh Allah. Kita pun diajarkan untuk mendoakan ampunan bagi saudara-saudara kita yang telah terlebih dahulu meninggal di atas keimanan. Dan supaya Allah tidak menjadikan di dalam hati kita rasa dengki kepada kaum beriman.

Bahkan para Nabi ‘alaihimus salam adalah teladan terbesar dalam hal mendoakan kebaikan bagi umatnya, meskipun dalam kondisi mereka justru dimusuhi dan disakiti oleh umatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada seorang nabi yang dipukul oleh kaumnya sendiri hingga wajahnya berdarah kemudian nabi itu berdoa kepada Allah seraya menyeka darah yang membasahi wajahnya, “Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah akhlak yang diajarkan kepada kita, wahai orang-orang yang mengaku sebagai penimba ilmu, pegiat dakwah atau pejuang kepentingan Islam dan kaum muslimin… Sungguh indah apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin setelah membawakan hadits di atas -yang berisi doa ampunan bagi kaum yang menyakiti- maka beliau pun membawakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah orang yang kuat itu yang menang ketika bergulat. Akan tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Inilah akhlak orang-orang yang berjiwa besar. Memaafkan ketika mampu melampiaskan dendam dan kemarahan. Mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Mendoakan agar mereka diberi hidayah dan mendapatkan ampunan Allah. Maka berikanlah maaf dan pemakluman, apakah anda tidak ingin Allah mengampuni dosa-dosa anda….

Di sinilah kejujuran dan keikhlasan seorang itu diuji; benarkah selama ini dia membela kepentingan dakwah dan kaum muslimin? Ataukah sebenarnya orang itu sedang berjuang demi kepentingan dirinya sendiri dan ingin menjatuhkan orang lain… Apa yang membuat kita tidak senang orang lain mengikuti kebenaran dan mendapatkan ampunan Allah? Apa yang membuat kita benci apabila orang lain mendapatkan nikmat dan kemuliaan? Apakah kebenaran itu tidak boleh datang kecuali harus melalui ucapan dan perbuatan kita; mengapa tidak boleh melalui perantara orang lain?

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kami dan pembaca…

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *