Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Tidaklah diragukan bahwa adanya dunia, kehidupan, dan kematian adalah cobaan dan ujian dari Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Diantara bentuk cobaan itu adalah musibah yang menimpa kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta.” (al-’Ankabut : 2-3)
Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menimpakan cobaan/musibah untuk mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah berhak mendapatkan penghambaan di kala susah sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan)
Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imran : 146). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (al-Anfal : 46)
Amal salih dan kesabaran merupakan sebab untuk mendapatkan ampunan Allah dan pahala yang besar. Allah berfirman (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan amal-amal salih, mereka itulah yang akan diberi ampunan dan pahala yang sangat besar.” (Hud : 11)
Dengan adanya musibah inilah seorang hamba mewujudkan imannya kepada takdir Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan kamu beriman kepada takdir; yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim). Iman kepada takdir merupakan rukun iman. Barangsiapa mengingkari takdir maka batal imannya.
Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari iman kepada Allah. Mengapa demikian? Karena Allah lah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberi dan menghalangi, yang mendatangkan manfaat dan menolak madharat. Iman kepada takdir merupakan bagian dari mengimani rububiyah Allah; Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta. Tidak ada satu pun kejadian di alam semesta ini melainkan terjadi dengan pengetahuan dari Allah dan kehendak-Nya. Tidak ada yang luput dari ilmu dan kekuasaan-Nya sekecil apapun di bumi maupun di langit, di daratan maupun di lautan.
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11). Alqomah -seorang ulama tabi’in- mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun ridha dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278)
Apabila kita telah mengetahui bahwa hidayah merupakan balasan atas kesabaran. Maka sesungguhnya hidayah itu merupakan sebaik-baik balasan dan keutamaan yang dibutuhkan oleh setiap hamba. Bukankah hidayah pula yang akan diperoleh kaum bertauhid yang membersihkan dirinya dari kemusyrikan? Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah.” (al-An’aam : 82)
Karena itulah tidak heran apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379)
Dari Anas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175)
Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang hamba berada di antara tiga keadaan :
– Musibah yang menuntut dia untuk bersabar
– Nikmat yang menuntut dia untuk bersyukur
– Dosa yang menuntut dia untuk beristighfar
Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar dalam makna yang luas mencakup sabar dalam melaksanakan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan. Selain itu ada juga sabar dalam menghadapi musibah. Sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah bagian dari syukur kepada Allah; sebab hakikat syukur adalah dengan beramal salih. Oleh sebab itu iman itu mencakup sabar dan syukur. Sabar bagi keimanan seperti kepala bagi anggota badan. Syukur mencakup keyakinan, ucapan lisan, dan amal anggota badan.
Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya sebab kebahagiaan hamba itu ada pada iman dan amal salih, sabar dan syukur, dan tunduk kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)
Seorang hamba tidaklah melihat Rabbnya kecuali senantiasa berbuat kebaikan. Karena Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Allah menginginkan bagi mereka kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Allah menyeru kepada negeri keselamatan dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Allah menyeru hamba-hamba-Nya untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya agar Allah curahkan ampunan dan pahala kepada mereka. Allah menyeru hamba-hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-Nya agar Allah tambahkan nikmat itu kepada mereka.
Dan hamba itu tidaklah melihat dirinya melainkan penuh dengan kekurangan, kelemahan, dan banyak melakukan kesalahan. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk bersabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar ketika tertimpa musibah. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
# Ditulis oleh : al-Faqir ila Rahmati Rabbihi Ari Wahyudi –waffaqahullah–