Bismillah.

Banyak orang yang begitu hanyut dan tenggelam dalam materialisme. Ketika kebahagiaan selalu dilambangkan dengan harta dan jabatan. Ketika ketenangan dikibarkan dengan lembaran dolar ataupun dinar. Sehingga rizki yang mereka kejar selalu identik dengan fatamorgana bernama dunia dengan segala pernak-perniknya.

Di sisi lain, tidak banyak orang yang menggebu-gebu dan memancangkan tekad bulat untuk menjadi pemburu hidayah dan penebar hikmah. Ketika belajar agama tidak dianggap sebagai kebutuhan asasi bagi manusia. Ketika memahami tauhid dan manhaj menjadi agenda pinggiran dan kalau perlu disingkirkan dan dimusnahkan.

Begitu resahnya jiwa ketika ancaman krisis ekonomi menghantui dunia. Begitu galau pikirannya memikirkan tabungan dan kekayaan harta benda dengan dalih perjuangan hidup dan jaminan masa depan. Seolah ketika al-Qur’an tidak dibaca, dzikir tidak terucap di lisan, badan tidak melangkah ke masjid atau hati tidak mendapatkan siraman nasihat dan tarbiyah ruhiyah. Dianggapnya itu semua bukan krisis dan bukan problem serius yang patut untuk diantisipasi dan ditanggulangi dengan segera.

Inilah fitnah yang melanda manusia pemuja fatamorgana. Bahkan manusia itu lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal akhirat itu yang lebik baik dan lebih kekal. Manusia pun mengira dia ditinggalkan dalam keadaan sia-sia; tidak diperintah dan tidak dilarang. Padahal dengan jelas Allah menerangkan untuk apa diciptakan jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Para ulama menjelaskan bahwa ibadah kepada Allah adalah taat kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebuah ketaatan yang dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Ibadah yang digerakkan oleh cinta, takut, dan harapan. Dengan demikian manusia bukan diciptakan untuk semata-mata bersenang-senang dalam kehidupan dunia dengan harta, jabatan, perhiasan, dsb.

Oleh sebab itu Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling nikmat di dalamnya.” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Jangan anda mengira bahwa yang dimaksud ‘mengenal Allah’ sekedar meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki atau yang menghidupkan dan mematikan. Karena keyakinan semacam itu pun telah dimiliki kaum musyrik Quraisy dan tidak memasukkan mereka ke dalam Islam. Sebab yang dimaksud mengenal Allah adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Inilah dakwah para nabi dan rasul mengajak manusia untuk mengenal Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang haq. Adapun segala yang disembah selain Allah adalah batil dan peribadatan kepadanya adalah kezaliman dan kebodohan.

Inilah pondasi kebahagiaan dan kunci keselamatan yang dilalaikan oleh banyak orang. Mereka lari meninggalkan penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan, sehingga mereka pun terjebak dalam perbudakan kepada hawa nafsu dan setan. Mereka tinggalkan tauhid dan menjatuhkan diri dalam jurang pemujaan kepada makhluk. Mereka menyembah selain Allah padahal ia tidak menguasai manfaat dan madharat. Mereka mencintai selain Allah dengan kecintaan sebagaimana tingkat kecintaan kepada Allah… Wallahul musta’aan.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *