AqidahHadits

Amalan Orang Musyrik

oleh : Redaksi al-mubarok.com

Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau perempuan yang ingin dinikahinya hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini adalah hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam kitabnya Sahih Bukhari. Hadits ini termasuk kelompok hadits yang disebut oleh para ulama sebagai hadits-hadits yang menjadi poros ajaran agama. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan yang lainnya menganggap hadits ini sebagai salah satu hadits pokok agama Islam (lihat keterangan Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Transkrip Syarh al-Arba’in, 1/5-6)

Hadits ini menunjukkan bahwa niat adalah syarat diterimanya amalan. Apabila suatu amalan tidak disertai dengan niat maka ia tidak akan diterima. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa ikhlas adalah syarat diterimanya seluruh amalan. Niat dalam artian ikhlas inilah yang dibahas di dalam kitab-kitab aqidah. Adapun niat yang dibahas dalam kitab-kitab fikih adalah niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain atau untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah/kebiasaan (lihat Transkrip Syarh al-Arba’in, 1/6-8)

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah harus disertai niat untuk mencari pahala di akhirat. Apabila misalnya ada orang yang melakukan sholat tanpa menyimpan niat mencari pahala di akhirat maka orang itu tidak akan mendapatkan pahala di akhirat atas perbuatannya itu (lihat keterangan Syaikh Sa’ad asy-Syatsri hafizhahullah dalam Syarh Umdatul Ahkam, 1/14)

Hadits ini merupakan pondasi agama. Ia mengandung perealisasian syahadat laa ilaha illallah. Yaitu wajibnya memurnikan amal ibadah untuk Allah. Hadits ini berisi setengah dalil agama, sedangkan setengahnya lagi ada di dalam hadits, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak termasuk ajarannya maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam hadits ini terkandung makna syahadat Muhammad rasulullah. Oleh sebab itu amal yang diterima adalah yang ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik, 1/26)   

Hadits ini juga menunjukkan bahwa amalan yang dilakukan orang musyrik tidak diterima oleh Allah disebabkan mereka mempersekutukan Allah dalam hal ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Allah juga berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik pastilah akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’aam : 88). Demikian pula orang yang murtad maka semua amalnya akan terhapus (lihat at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, hal. 73-74)

Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah/sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah (lihat ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 15)

Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat (yang artinya), “Benar, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (al-Baqarah : 112). Kalimat ‘memasrahkan wajahnya kepada Allah’ artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun ‘dia berbuat ihsan’ maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi bid’ah (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, 2/824-825)

Dengan demikian hakikat amal salih itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebut sebagai amal salih yang sebenarnya kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firman-Nya (yang artinya), “Hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga (lihat Tafsir Surah al-Kahfi karya Syaikh al-Utsaimin, hal. 153)  

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *