AmalAqidahNasehatSyirikTauhid

Tujuan Penciptaan Insan

jalan

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Nabi akhir zaman. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap insan hidup di alam dunia ini untuk sebuah tujuan yang jelas. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Tujuan ini akan terwujud apabila seorang hamba mau tunduk kepada perintah Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Ibadah kepada Allah akan bisa terlaksana apabila seorang insan mau menundukkan pikiran dan perasaannya kepada wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya. Oleh sebab itu, Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 80)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat, kita berdoa kepada Allah untuk mendapatkan hidayah menuju jalan lurus; yang itu merupakan jalan orang-orang yang tunduk beribadah kepada Allah, yaitu para nabi, Shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih.

Dengan hidayah dari Allah itulah seroang hamba akan terselamatkan dari kesesatan dan kebinasaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”

Ibadah kepada Allah ini dibangun di atas ilmu, keimanan, keikhlasan, dan komitmen untuk selalu mengikuti tuntunan. Imam Bukhari rahimahullah membuat bab di dalam Shahihnya dengan judul Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat. Ilmu merupakan sebab lurusnya niat, dan lurusnya niat adalah sebab lurusnya amalan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah pahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Amal yang tidak dilandasi dengan keimanan juga tidak akan diterima. Sebagaimana halnya amal-amal orang kafir yang menjadi sia-sia di hari kiamat kelak. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu pernah mereka lakukan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Demikian pula amalan yang tidak dilandasi dengan keikhlasan. Allah tidak menerima amalan yang tercampuri riya’ dan kesyirikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif/menjauhi syirik.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala juga memerintahkan (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apa pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Amal yang diterima adalah amal yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan, bahwa suatu amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian juga jika benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amal hanya diterima jika ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, sedangkan dikatakan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan rasul.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Kami maka itu pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berpesan, “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian membuat ajaran-ajaran baru. Karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan -dengan sunnah-.” Imam Malik rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya dia akan selamat. Dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka dia pasti tenggelam.”

Imam Malik rahimahullah juga menegaskan, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam ini suatu bid’ah/ajaran baru yang dia anggap baik [bid’ah hasanah] maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah.” Sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian…” (QS. Al-Ma’idah: 3)

 

Hakikat Ibadah

Ibadah kepada Allah merupakan suatu bentuk perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Ibadah kepada Allah dikatakan ibadah jika diambild ari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah kepada Allah ini bisa terlaksana dengan cara melakukan segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah; baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak atau yang tersembunyi.

Ibadah kepada Allah dibangun di atas tiga pilar amalan hati, yaitu mahabbah/cinta, roja’/harapan, dan khouf/rasa takut. Beribadah kepada Allah hanya dengan cinta adalah penyimpangan kaum sufi. Beribadah kepada Allah hanya dengan harapan adalah penyimpangan kaum murji’ah. Beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut adalah penyimpangan kaum khawarij. Sementara seorang ahli tauhid yang sejati beribadah kepada Allah dengan ketiga pilar amalan hati ini sekaligus.

Ibadah kepada Allah tidak bisa terwujud tanpa pengingkaran kepada segala sesembahan selain Allah. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang meyerukan; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Imam Malik rahimahullah menjelaskan, “Thaghut adalah segala yang disembah selain Allah.” Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu berkata, “Thaghut adalah dukun-dukun.” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Thaghut adalah setan.” Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Thaghut adalah segala hal yang menyebabkan hamba melampaui batas, baik dengan disembah, diikuti, atau ditaati.”

 

Larangan Berbuat Syirik

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengerti bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidak dikatakan ibadah tanpa tauhid. Sehingga apabila syirik mencampuri suatu ibadah niscaya ibadah itu menjadi rusak/batal, sebagaimana hadats apabila masuk kepada thaharah.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar)

Bukan hanya itu apabila syirik yang dilakukan termasuk syirik akbar maka menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Oleh sebab itu perintah untuk beribadah kepada Allah kerapkali dibarengi dengan larangan dari perbuatan syirik. Karena ibadah yang tercampur syirik tidak akan bernilai sama sekali. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Demikian pembahasan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. [al-mubarok.com]

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *