NasehatTafsir

Tegak di atas Takwa

Takwa sebuah kalimat yang ringkas dan sarat akan makna. Di dalam takwa terkandung ilmu dan amal. Terkandung rasa takut dan harapan. Terkandung ibadah dan ketaatan. Terkandung ikhlas dan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Takwa menjadi kunci kebahagiaan dan jalan keselamatan bagi insan beriman.

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan merasa takut akan hukuman Allah.”

Ini adalah definisi takwa yang sangat indah. Ketika Thalq bin Habib ditanya bagaimana memadamkan fitnah, maka beliau menjawab, “Padamkanlah ia dengan takwa.” Kemudian beliau menjelaskan makna takwa sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan kedalaman ilmu para ulama salaf terhadap agama Islam ini. Sebuah kalimat yang bisa menjadi senjata untuk menumpas fitnah dan meredamnya sehingga tidak merembet kemana-mana.

Di dalam definisi ini, Thalq bin Habib menjelaskan kepada kita bahwa takwa mencakup pelaksanaan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Seorang muslim tentu akan tunduk kepada Allah, tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Kalau lah dia tidak tunduk kepada Allah maka tidak layak ia disebut sebagai muslim, apalagi untuk disebut sebagai mukmin.

Oleh sebab itu para ulama kita menjelaskan tentang makna islam; bahwa islam itu ditegakkan di atas ketundukan dan kepasrahan kepada Allah. Mereka mengatakan, bahwa islam itu adalah ‘kepasrahan kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya’. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa islam tidak akan tegak tanpa ketaatan dan ketundukan.

Ketundukan yang dimaksud di sini tentu bukan semata-mata ketundukan secara lahiriah, sebab ketundukan secara lahiriah tanpa ketundukan batin adalah perilaku kaum munafikin. Mereka mengatakan dengan lisan-lisan mereka apa-apa yang tidak mereka yakini di dalam hatinya. Oleh sebab itu al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang munafik berada di kerak neraka yang paling bawah. Hal itu karena agama mereka ditegakkan di atas kedustaan, mereka membangun amalnya di tepi jurang yang runtuh dan menyeret mereka menuju jurang neraka. Adapun para sahabat nabi mereka membangun amalnya di atas ketakwaan dan keikhlasan.

Allah menyifati kaum beriman dengan ketundukan dan kepasrahan. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang di dalam sholatnya khusyu’…” (al-Mu’minun). Ayat ini menunjukkan bahwa kaum beriman adalah orang-orang yang bukan saja menunaikan amalan-amalan hati, akan tetapi mereka juga melakukan amal-amal fisik, dan sholat memadukan antara amalan hati dengan amalan lahiriah.

Kaum beriman tidak sholat dengan malas-malasan sebagaimana kaum munafikin. Kaum beriman sholat dengan khusyu’ kepada Allah. Mereka takut dan berharap kepada Allah. Mereka merasakan ketenangan dan ketentraman dengan zikir kepada Allah. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka, dan apabila disebutkan nama Allah maka takutlah hati mereka. Hal ini menunjukkan kepada kita gambaran yang sangat indah mengenai profil seorang muslim sejati. Seorang yang beribadah kepada Allah, tunduk kepada-Nya, dan takut akan hukuman dan azab-Nya, di sisi lain ia pun mengharap akan ampunan dan pahala dari-Nya.

Karena itulah kemuliaan seorang muslim ada pada ketakwaannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. Bukanlah kemuliaan itu diukur dengan keelokan rupa, banyaknya harta, atau tingginya jabatan dan popularitas. Akan tetapi kemuliaan itu ada pada hati dan amalan yang mencerminkan ketakwaan. Semakin bertakwa seorang insan maka semakin mulia pula kedudukannya di hadapan Allah. Semakin tunduk seorang dalam menghamba kepada Allah maka Allah pun akan semakin memuliakan dirinya. Oleh sebab itulah Allah memuji nabi-Nya dengan sebutan sebagai ‘hamba-Nya’ ketika Allah ingin menunjukkan kemuliaan beliau.

Ketakwaan tidak bisa ditegakkan tanpa ilmu dan keimanan. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, bahwa ilmu sebelum ucapan dan amalan; karena dengan ilmu itulah kita akan bisa meluruskan ucapan dan amal perbuatan kita. Tanpa ilmu maka seorang akan terjerumus dalam kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang benar. Oleh sebab itulah setiap hari kita berdoa kepada Allah meminta hidayah jalan yang lurus. Hal ini menunjukkan bahwa setiap muslim membutuhkan tambahan hidayah dan tambahan ilmu dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga tidak cukup ilmu diminta sepekan sekali, atau sebulan sekali. Bahkan ilmu itu harus kita minta dalam sehari semalam minimal sebanyak tujuh belas kali. Aduhai, betapa banyak orang yang lalai akan hal ini…

Karena itulah para ulama menyatakan bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan, minuman, bahkan air dan udara. Mengapa? Sebab ilmu adalah sebab hidupnya hati. Dengan ilmu ia akan mengenali iman dan tauhid serta bisa mengenali bahaya syirik, kekafiran, kemunafikan dan kemaksiatan. Dengan ilmu itulah ia akan terbebas dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”  

Takwa bukanlah semangat dan kobaran perasaan tanpa rambu-rambu yang harus dipatuhi. Takwa butuh kepada ilmu. Takwa butuh kepada kaidah dan jalan. Sebagaimana halnya iman bukanlah semata-mata pengakuan dan slogan-slogan kosong tanpa makna dan kenyataan. Iman butuh kepada bukti dan keyakinan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal.”

Takwa pun tidak terbatas kepada penunaian hak-hak Allah. Akan tetapi takwa juga meliputi penunaian hak-hak sesama. Oleh sebab itu Allah seringkali menyertai perintah bertauhid kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua. Ketika ditanya mengenai amal yang paling utama maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ‘sholat pada waktunya’ kemudian ketika ditanya lagi maka beliau menjawab ‘berbakti kepada kedua orang tua’.

Takwa juga menuntut setiap muslim peduli kepada manusia. Peduli akan kebaikan dan keadaan mereka. Menghendaki keselamatan bagi mereka. Oleh sebab itu umat islam dipetintahkan untuk menegakkan dakwah serta amar ma’ruf nahi mungkar untuk memancarkan cahaya islam ke segenap penjuru dunia. Takwa menuntut setiap muslim untuk mencintai kebaikan bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri. Takwa juga menuntut setiap muslim untuk membersihkan hatinya dari riya’, ujub, hasad, dan berbagai penyakit hati yang lainnya.

Takwa, memang ringan diucapkan tetapi berat dan butuh perjuangan keras untuk diwujudkan dalam kehidupan. Seperti orang yang berjalan di jalan yang penuh onak dan duri. Dia tentu akan sangat berhati-hati. Dia tidak akan tergesa-gesa. Dia akan mencermati apa-apa yang ada di sekelilingnya. Dia harus membedakan mana duri dan mana rumput yang tidak menyakiti. Dia tidak mau selamat dari satu duri tetapi justru terjatuh pada duri-duri lain yang lebih banyak dan mencelakakan. Sebagaimana dia tidak mau selamat dari duri tapi justru terlempar ke dalam jurang. Sebagaimana dia membutuhkan cahaya agar bisa melihat duri yang harus ia hindari.

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *