AmalIkhlasPenyucian Jiwa

Menundukkan Diri Kepada Ilahi

Bismillah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Setiap manusia adalah ciptaan Allah. Kita menyadari sepenuhnya bahwa ciptaan Allah memiliki hikmah yang luar biasa. Jika orang terkagum-kagum dengan makhluk-makhluk Allah dengan segala keunikan yang ada padanya, maka secara tidak langsung menuntut kita untuk lebih kagum dan mengakui kebesaran Allah dengan segala kesempurnaan dan kemuliaan-Nya.

Segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah pemilik kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya. Tidak ada satupun makhluk melata di atas muka bumi ini melainkan Allah pula yang menanggung rezkinya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di dalam lubuk hati umat manusia, bahkan Allah pula yang membolak-balikkan hati itu menurut kehendak-Nya dan kebijaksanaan-Nya. Hal ini memberikan faidah bagi kita betapa besar kebutuhan manusia kepada Rabbnya. Lebih besar kebutuhannya kepada Allah daripada kebutuhannya kepada makanan, minuman, tempat tinggal, kendaraan, dsb. Karena kefakiran kita kepada Allah adalah kefakiran yang bersifat dzati/substantif. Kita semuanya -baik jiwa dan raganya- tidak bisa lepas dari bantuan dan pertolongan Allah barang sekejap mata sekalipun.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan dzikir kepada Allah sebab ‘energi’ yang menghidupkan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Dzikir adalah pasokan gisi bagi hati. Tanpanya hati akan lemah dan mati. Hati menyimpan berbagai cadangan nutrisi bagi amal dan ketaatan manusia. Ketika hati kosong dari segarnya iman dan lezatnya dzikir maka ia tidak bisa mengirimkan pasokan gizi bagi tangan, kaki, dan segenap anggota badan. Sehingga yang terjadi adalah perbuatan-perbuatan yang jauh dari ibadah dan ketaatan. Waktunya terbuang untuk hal-hal yang sia-sia dan mengundang dosa. Yang terparah adalah lenyapnya keikhlasan dari amal dan keyakinan. Seperti kondisi kaum munafikin yang diceritakan di dalam al-Qur’an bahwa mereka tidak ingat kepada Allah kecuali sedikit sekali.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita semua tanpa kecuali sering melupakan Allah di saat-saat dimana kita bersandar kepada kekuatan dan kemampuan kita. Kita merasa bahwa kita lah sang pencetak keberhasilan dan pengukir prestasi gemilang. Padahal sejatinya kita tidak lebih dari seorang hamba yang berlumuran dosa dan penuh dengan keteledoran. Banyaknya kemudahan dan nikmat yang kita peroleh dalam hal dunia sebenarnya bukanlah standar kebaikan seorang hamba; sebab kemuliaan itu dinilai dengan kualitas takwa dalam hati dan amalannya. Namun, kita sering tertipu dan merasa bahwa lancarnya rezki dunia dan kemegahan dunia sebagai simbol kejayaan dan kesuksesan. Seolah kita lupa bahwa standar sukses adalah iman dan amal salih.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalannya.” (al-Mulk : 2)

Kita sering rancu antara tujuan dan sarana. Sarana kita jadikan tujuan dan tujuan malah kita kesampingkan. Kita tahu bahwa ibadah kepada Allah butuh kepada keikhlasan tetapi kita menganggap bahwa keikhlasan adalah perkara remeh dan sepele. Padahal para ulama kita terdahulu berjuang keras untuk memburu ikhlas. Sebagian mereka berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk ikhlas.”

Kita sering terjebak dalam rutinitas dan gemerlap aktifitas dan melupakan hakikat penghambaan dan keikhlasan. Banyak orang keliru dalam menempatkan skala prioritas dan terseret dalam arus hawa nafsu dalam menentukan mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa ditunda atau sedikit diberi kelonggaran. Tauhid dianggap sempit dan remeh sependek kalimat tauhid dan seringkas buku-buku aqidah dasar yang diajarkan para ulama. Padahal tauhid dan aqidah jauh lebih dalam dan mendasar daripada apa-apa yang tampak di dalam tulisan dan ceramah dakwah.

Mengapa dakwah tauhid di Mekah butuh waktu sedemikian lama dan pada akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya harus ‘terusir’ meninggalkan tanah tumpah darahnya? Apakah itu semata-mata fenomena sosial dan kecenderungan publik yang alergi dengan dakwah tauhid? Ataukah sesungguhnya di balik itu, terdapat pelajaran dakwah bahwa menanamkan aqidah di dalam hati manusia tidak semudah memancangkan pondasi bangunan atau gedung? Anda bisa saja menghancurkan sebuah masjid yang menegakkan dakwah tauhid, akan tetapi jangan kira anda bisa menghentikan tumbuhnya ribuan masjid yang akan mengibarkan bendera tauhid ini dengan taufik dari Allah kemudian perjuangan keras para ulama dan da’inya…

Tidakkah kita ingat nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam al-Mustadrak)

Dakwah tauhid ini adalah fitrah yang Allah berikan kepada hati anak Adam. Akan tetapi setan dengan segenap pasukannya tidak mau mangsanya lepas begitu saja. Ia kerahkan semua pasukannya untuk menggoda dan menyeret manusia ke jurang neraka. Setan pun menyadari bahwa kekuatan anak Adam adalah dengan bergantung kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya. Sehingga setan tidak henti-hentinya berusaha meracuni hati dan pikiran manusia dengan perkara-perkara yang merusak keikhlasan dan aqidah mereka. Sebab ia tahu bahwa hamba-hamba Allah yang ikhlas tidak akan bisa dia jajah dan permainkan sebagaimana para durjana pemuja selain-Nya!

Siapa yang menyangka 300 pasukan kaum muslim bisa mengalahkan seribu pasukan musyrikin? Siapa yang menyangka seorang yang tidak bisa baca tulis bisa mendapat wahyu dan diangkat sebagai kekasih Allah yang terbaik. Siapa yang mengira bahwa seorang budak berkulit hitam bisa tahan membela tauhid meski harus meneteskan darah dan mengalami siksaan? Ini semua adalah taufik dari Allah, bukan hasil jerih payah atau karena kehebatan manusia. Oleh sebab itu kita dapati para nabi, orang-orang salih terdahulu dan para wali Allah adalah mereka yang selalu tunduk dan merendah kepada Rabbnya, merasa fakir dan butuh kepada pertolongan dan bantuan-Nya dalam setiap ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan. Inilah fikih keimanan yang banyak dilupakan orang…

Dari situlah para ulama kita menjelaskan bahwa hakikat ibadah yang Allah tuntut dari setiap kita adalah perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan, bukan semata-mata gerakan lisan, atau perbuatan anggota badan. Karena itu pula mereka mengatakan bahwa sesungguhnya amal-amal itu berbeda-beda tingkatan keutamaannya sesuai dengan apa-apa yang bersemayam di dalam hati pelakunya, yaitu iman dan ikhlas.

Apa gerangan tujuan Allah mewajibkan kita membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin setiap hari belasan kali kalau bukan untuk mendidik diri kita agar menjadi hamba yang tunduk kepada Allah, merendah kepada-Nya, dan mencintai serta mengagungkan-Nya? Maka kita dapati orang yang lalai dari iyyaka na’budu sering terhinggapi penyakit riya’, sebagaimana orang yang lalai dari iyyaka nasta’iin sering tertimpa bencana ujub dan kesombongan.  

Jangan kira bahwa berhala yang harus dihancurkan adalah berhala fisik dan tempat keramat yang dipuja saja, bahkan berhala yang bercokol di dalam hati adalah sasaran dakwah tauhid yang pertama sebelum yang lainnya. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa peranan hati bagi amalan laksana jantung bagi segenap anggota badan? Karena itula para ulama sering menasihatkan; bukanlah yang menjadi tujuan itu melakukan amalan, tetapi yang paling pokok adalah bagaimana menjaga amalan dari segala perusak dan penyakit yang menjangkitinya.

Semoga Allah berikan kepada kita keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan…

Penyusun : Redaksi al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *