AqidahBelajar Jarak JauhIkhlas

Mengenal Tauhid [Bagian 31]

Bismillah.

Di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan sebuah hadits yang panjang tentang diskusi yang terjadi di majelis Sa’id bin Jubair rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama tabi’in dan salah satu murid terkemuka dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.

Ketika itu, Sa’id bin Jubair menanyakan kepada sahabat-sahabatnya, “Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam?”. Kemudian Hushain bin Abdurrahman seorang tabi’ut tabi’in menjawab, “Aku melihatnya.” Lalu dia menyambung, “Akan tetapi bukan karena aku sholat malam. Ketika itu aku tersengat binatang berbisa.”

Lalu Sa’id pun bertanya, “Lantas, apa yang kamu lakukan setelah kejadian itu?”. Hushain menjawab, “Aku meminta orang meruqyah untukku.” Sa’id bertanya lagi, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?” Hushain menjawab, “Ada sebuah hadits yang disampaikan kepada kami oleh asy-Sya’bi.”   

Sa’id bertanya, “Hadits apa yang disampaikan olehnya kepada kalian?” Hushain menjawab, “Beliau menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin al-Hushaib -seorang sahabat Nabi- bahwa ‘Tidak ada ruqyah -yang lebih manjur- selain untuk mengobati akibat mata jahat/’ain atau karena terkena sengatan binatang berbisa.’.”

Sa’id mengatakan, “Sungguh baik orang yang bersikap berdasarkan hadits yang telah dia dengar. Namun, Ibnu ‘Abbas juga menuturkan hadits kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” Kemudian beliau menyebutkan kisah tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Dan salah satu ciri mereka itu adalah, “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak meminta diobati dengan kay/besi panas, tidak beranggapan sial, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” Demikian ringkasan isi hadits ini dengan penyesuaian redaksional. Hadits ini sahih dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Diksusi Ilmiah dalam Hal Tauhid

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kisah ini adalah kisah yang menggambarkan kepada kita sebuah diskusi ilmiah dan indah yang terjadi di masa salafus shalih. Bagaimana seorang ahli ilmu sekelas Sa’id bin Jubair bisa menghargai dan mengapresiasi pendapat orang yang berada di bawah kedudukannya.

Kisah ini juga menampakkan kepada kita bagaimana mereka selalu bersandar kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah agama ini. Mereka beragama dengan dalil, bukan semata-mata dengan perasaan atau tradisi. Di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan bagaimana salafus shalih sangat perhatian dalam menjaga keikhlasan.

Syaikh al-Fauzan menjelaskan, maksud perkataan Hushain, “Aku tidak sedang sholat malam. Akan tetapi aku terkena sengatan binatang berbisa.” Ucapan ini menunjukkan bahwa Hushain khawatir muncul riya’ di dalam hatinya. Oleh sebab itu beliau berkata, “Akan tetapi aku tidak sedang sholat malam.” Artinya, jangan sampai mereka mengira bahwa ketika itu dia tidak tidur karena melakukan sholat malam. Beliau khawatir mereka akan memberikan pujian kepadanya dengan suatu hal yang tidak ada pada dirinya. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Ini merupakan bentuk kehati-hatian kaum salaf. Mereka berusaha menjauhi riya’ dan perbuatan memuji diri sendiri. Karena hal ini akan merusak keikhlasan.” (lihat I’anat al-Mustafid, Juz 1 hal. 112)

Dari dialog di atas, kita bisa melihat bagaimana kecerdasan Sa’id bin Jubair rahimahullah dalam menyambung pembicaraan dan berganti topik dari pertanyaan yang sebelumnya beliau ajukan. Beliau tidak ingin pembicaraan ini terputus gara-gara materi yang disampaikan temannya tidak sesuai dengan pokok materi yang beliau sampaikan. Beliau lebih perhatian kepada kasus yang diceritakan oleh temannya itu.

Beliau tidak cuek dengan keadaan temannya yang semalam terkena sengatan binatang berbisa. Oleh sebab itu beliau menanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh Hushain pada saat itu. Beliau tidak mengatakan, “Oh, syafakallahu. Kalau begitu siapa diantara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?” Namun beliau dengan lembut dan penuh pengertian bertanya, “Lantas, apa yang kamu lakukan setelah kejadian itu?”

Sesungguhnya ini menunjukkan keluhuran etika dan adab generasi salaf. Berbeda mungkin dengan keadaan sebagian orang di masa kini yang selalu ingin memonopoli pembicaraan dan ‘mengarahkan’ agar orang mengikuti alur pembicaraan dan topik masalah yang sedang diangkat olehnya. Hal ini sekali lagi menjadi cermin bagi kita bahwa perilaku dan adab sebagian kita masih jauh dari mulia.

Di dalam kisah di atas, kita juga bisa melihat bagaimana Sa’id bin Jubair memuji tindakan Hushain yang melandasi perbuatannya dengan dalil. Hal ini menunjukkan bagaimana mereka selalu berusaha bersangka baik kepada saudaranya. Mereka tidak suka tergesa-gesa menjatuhkan vonis atau cap negatif kepada orang yang melakukan suatu hal yang menyelisihi pendapat atau sikap mereka.

Dan hal ini semakin mengagumkan tatkala yang bisa memberikan penghargaan semacam itu adalah seorang yang lebih senior dari sisi ilmu dan usia serta pengalaman. Hal semacam ini mungkin jarang kita temukan di masa kini. Sebab kebanyakan orang -apalagi yang merasa lebih tua atau lebih berilmu- terkadang bersikap secara reaktif tanpa memikirkan dampak yang sekiranya muncul dengan reaksinya itu. Sebagian orang lebih mudah menyalahkan daripada menghargai upaya yang telah dilakukan.

Dan sekali lagi ini menunjukkan bagaimana sifat keikhlasan itu selalu mereka upayakan di dalam segala ucapan dan tingkah laku mereka. Sifat keikhlasan yang melahirkan akhlak rendah hati dan menghormati orang lain. Mereka tidak ingin menonjolkan keunggulan dirinya sendiri dan merendahkan eksistensi orang lain.

Kalau hal-hal yang relatif ‘ringan’ semacam ini pun kita belum bisa melaksanakan maka bagaimanakah lagi dengan hal-hal yang besar?

Dari sini pula, kiranya kita harus kembali banyak belajar dan bersungguh-sungguh dalam meniti jejak generasi terbaik umat ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Darul Hijrah Malik bin Anas rahimahullah, “Tidak akan menjadi baik keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baik generasi pertamanya.” 

Tawakal Salah Satu Pilar Perealisasian Tauhid

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Bertawakal kepada sesuatu artinya adalah bersandar kepadanya. Adapun bertawakal kepada Allah maksudnya adalah menyandarkan diri kepada Allah ta’ala dalam rangka mencukupi dan memenuhi keinginannya, baik di saat mencari kemanfaatan ataupun menolak kemadharatan. Ia merupakan bagian kesempurnaan iman dan tanda keberadaannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 38)

Apabila dirinci maka tawakal mencakup tiga unsur:

Pertama; Keyakinan bahwasanya segala urusan ada di tangan Allah, segala yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Hanya Allah yang menguasai manfaat dan madharat, yang kuasa untuk memberi atau menghalangi

Kedua; Menyandarkan hati kepada Allah dan menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya

Ketiga; Melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan menurut syari’at dalam rangka mencapai tujuannya (lihat Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 83-84, al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101-102, at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 374-375)

Syaikh al-Utsaimin menjelaskan, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud: 123). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri maka itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup untuk beribadah dengan baik.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (Ali ‘Imran: 159). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia cukup baginya.” (ath-Thalaq: 3).  Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qor’awi menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal termasuk sebab yang paling penting untuk mendapatkan manfaat dan menolak madharat.” “Ayat ini juga menunjukkan wajibnya tawakal kepada Allah, karena dengan sebab tawakal itulah Allah akan menjaga hamba-Nya dan mencukupinya.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 302)

Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah salah satu kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Sesuai dengan kekuatan tawakal maka sekuat itulah keimanan seorang hamba dan bertambah sempurna tauhidnya. Setiap hamba sangat membutuhkan tawakal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala yang ingin dia lakukan atau tinggalkan, dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (lihat al-Qaul as-Sadid ‘ala Maqashid at-Tauhid, hal. 101)

Semakin kuat iman seorang hamba semakin kuat pula tawakalnya. Dan semakin lemah iman seseorang semakin lemah pula tawakalnya kepada Allah. Sehingga lemahnya tawakal merupakan tanda lemahnya iman seorang hamba. Di dalam al-Qur’an, Allah ta’ala seringkali menggandengkan antara tawakal dengan ibadah, tawakal dengan iman, tawakal dengan takwa, tawakal dengan islam, tawakal dengan hidayah. Ini semua menunjukkan bahwa tawakal merupakan pokok seluruh maqam iman dan ihsan untuk segala bentuk amal keislaman. Kedudukan tawakal di dalam ajaran Islam laksana kepala bagi anggota badan (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91-92)

Muslim bin Yasar rahimahullah berkata, “Beramallah seperti halnya amalan seorang lelaki yang tidak bisa menyelamatkan dirinya kecuali amalnya. Dan bertawakallah sebagaimana tawakalnya seorang lelaki yang tidak akan menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla untuknya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 561)

Tawakal kepada Makhluk

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanyalah orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah maka hati mereka merasa takut, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka hal itu semakin menambah keimanan mereka, dan mereka bertawakal kepada Rabb mereka semata.” (al-Anfal: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (al-Ma’idah: 23).

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qor’awi menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan wajibnya memurnikan tawakal kepada Allah dan tidak boleh bertawakal kepada selain-Nya.” “Ayat ini juga menunjukkan bahwa tawakal kepada Allah adalah salah satu jenis ibadah, sedangkan memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah syirik.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 298)

Ketika mengomentari ayat Iyyaka na’bdu wa iyyaka nasta’in, Qatadah rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kalian untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan supaya kalian meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusan kalian.” Ayat ini bermakna “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali kepada-Mu.” (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34]). Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang yang bertawakal kepada makhluk telah berbuat syirik (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)

Tawakal kepada makhluk memiliki dua keadaan:

Pertama; Syirik akbar, yaitu apabila bersandar kepadanya dalam hal-hal yang tidak dikuasai kecuali oleh Allah. Seperti misalnya bersandar kepadanya demi mendapatkan ampunan dosa, menggantungkan hati kepadanya dalam menggapai kebaikan di akherat, bersandar kepadanya dalam rangka memperoleh anak/keturunan dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang banyak menimpa kepada para pemuja kubur dan para wali. Mereka menujukan ketergantungan hati dan harapan mereka kepada sesembahan-sesembahan tersebut demi mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam urusan dunia maupun akherat. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar yang mengugurkan pokok ketauhidan

Kedua; Syirik khafi/samar, yaitu apabila bersandar kepadanya dalam hal-hal yang Allah berikan kepadanya kekuasaan untuk itu. Hal ini termasuk syirik kecil. Karena hakekat dari tawakal adalah penyerahan segala urusan dan ketergantungan hati. Padahal, itu semua tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata; yang di tangan-Nya lah kuasa atas segala urusan. Adapun makhluk sama sekali tidak berhak untuk menerimanya (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 375-376) 

Kaidah Pengambilan Sebab

Syaikh Shalih alu Syaikh berkata, “Sesungguhnya penetapan sebab-sebab (sarana dan jalan) yang bisa mendatangkan pengaruh atau keberadaan sesuatu sebagai sebab tidaklah diperbolehkan tanpa melalui jalur syari’at. Oleh sebab itu tidak boleh menetapkan suatu sebab kecuali apabila hal itu ditetapkan sebagai sebab menurut syari’at, atau ditetapkan sebagai sebab berdasarkan pengalaman nyata -terbukti secara empiris- yang menunjukkan bahwa hal itu memang memberikan dampak secara jelas, bukan sesuatu yang samar.” (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 93)

Dalam menempuh sebab untuk meraih manfaat atau menolak madharat ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh setiap hamba, yaitu:

Pertama; Tidak boleh menempuh suatu sebab/sarana yang tidak ditetapkan oleh syari’at atau tidak dibenarkan secara qadari/menyelisihi hukum sebab-akibat

Kedua; Tidak boleh bersandar kepada sebab, tetapi harus bersandar kepada Allah yang menciptakan dan menguasai sebab tersebut. Hendaknya menempuh sebab/jalan yang disyari’atkan demi mencapai tujuan serta bersemangat untuk mendapatkan manfaat darinya

Ketiga; Harus meyakini bahwa segala macam sebab/sarana -sebesar dan sekuat apapun itu- maka tetap saja ia berkaitan erat dengan takdir Allah, sedikit pun ia tidak terlepas darinya. Allah berhak mengatur segala sesuatunya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak Allah akan biarkan sebab itu berjalan sebagaimana fungsinya agar hamba-hamba-Nya menempuh sebab-sebab itu dan supaya mereka menyadari kesempurnaan hikmah-Nya. Namun, apabila mau Allah pun bisa mengubahnya. Hikmahnya adalah supaya mereka tidak bersandar kepadanya dan supaya mereka mengetahui kesempurnaan qudrah/kekuasaan Allah, bahwa Allah lah satu-satunya yang berhak untuk mengatur alam semesta ini sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 34-35)

Demikian sedikit catatan semoga bermanfaat.

# Penyusun : www.al-mubarok.com

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *