AqidahBelajar Jarak JauhIkhlas

Mengenal Tauhid [Bagian 20]

Bismillah.

Alhamdulillah dengan taufik dari Allah semata kita bisa menimba ilmu dan beribadah kepada-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, sang nabi akhir zaman dan penutup para rasul.

Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita berjumpa kembali dalam seri mengenal tauhid dengan memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian sebelumnya telah kita bicarakan mengenai kandungan dua kalimat syahadat.

Di dalam hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa di dalam syahadat yang menjadi syarat untuk masuk surga itu adalah bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Para ulama menjelaskan, bahwa di dalam ungkapan ini ‘hamba dan utusan-Nya’ terkandung bantahan bagi dua kelompok yang menyimpang. Nabi adalah ‘hamba’ menjadi bantahan bagi orang yang beribadah kepada beliau, sedangkan nabi sebagai ‘utusan Allah’ menjadi bantahan bagi orang yang menolak kerasulan beliau dari kalangan kaum kafir dan musyrikin.

Beliau adalah Hamba Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dia [rasul] tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.” (Ali ‘Imran: 80). Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)

Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])  

Beliau adalah Rasulullah

Kalimat syahadat Muhammad utusan Allah memiliki banyak konsekuensi, diantaranya :

– Menaati apa yang beliau perintahkan

– Membenarkan berita yang beliau sampaikan

– Menjauhi apa-apa yang beliau larang

– Tidak beribadah kecuali dengan apa yang beliau syari’atkan

– Berhukum dengan hukum yang beliau tetapkan

Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Wahai manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (al-A’raaf : 158)

Allah mengutus beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada manusia al-Qur’an dan as-Sunnah serta membersihkan jiwa-jiwa mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Dia lah Yang telah membangkitkan di tengah-tengah kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan membersihkan jiwa mereka serta mengajarkan kepada al-Kitab dan al-Hikmah (hadits) dan benar-benar sebelumnya mereka berada di dalam kesesatan yang sangat nyata.” (al-Jumu’ah : 2)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang sangat penyayang kepada umatnya dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian sendiri, terasa berat baginya apa-apa yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan kebaikan untuk kalian, dan kepada orang-orang beriman dia itu sangat lembut dan penyayang.” (at-Taubah : 128)

Allah telah menciptakan kita dan memberikan rizki kepada kita, dan Allah tidak membiarkan kita dalam keadaan sia-sia. Akan tetapi Allah mengutus kepada kita seorang rasul. Barangsiapa yang taat kepadanya niscaya masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadanya maka dia akan masuk neraka. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul. Maka Fir’aun durhaka kepada rasul itu sehingga Kami pun menghukumnya dengan hukuman yang berat.” (al-Muzammil : 15-16) (lihat kitab Tsalatsatul Ushul)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian menaatinya (rasul) niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (an-Nuur : 54)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiyaa’ : 107)

as-Samarqandi rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘seluruh alam’ dalam ayat ini adalah ‘manusia dan jin’ (lihat asy-Syifaa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthofa, hal. 58)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran : 31)

Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim/pemutus perkara atas apa-apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri mereka rasa sempit atas apa yang telah kamu putuskan, dan mereka pun pasrah dengan sepasrah-pasrahnya.” (an-Nisaa’ : 65)

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah teladan yang indah (uswah hasanah) yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab : 21)

Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Beruswah kepada rasul maksudnya adalah meneladani beliau, mengikuti sunnah/ajarannya, dan meninggalkan tindakan yang menyelisihinya baik berupa ucapan maupun perbuatan.” (lihat asy-Syifaa, hal. 479)

Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajaran rasul itu, karena mereka akan tertimpa suatu fitnah/malapetaka, atau akan menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63)

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, “Aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang dahulu diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali hal itu pasti aku kerjakan. Sesungguhnya aku takut apabila aku tinggalkan sedikit saja dari ajaran beliau maka aku menjadi sesat/menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menaatiku sungguh dia telah menaati Allah, dan barangsiapa durhaka kepadaku sungguh dia telah durhaka kepada Allah…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Anugerah Dakwah Tauhid

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan anugerah kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa-jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) sementara mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (Ali ‘Imran : 164)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya al-Kitab dan al-Hikmah; yang dimaksud ialah al-Qur’an dan as-Sunnah (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/158)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah membersihkan diri mereka dari syirik, maksiat, perbuatan dan perilaku yang rendah dan tercela serta segala macam akhlak yang buruk (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 155)

Perkara yang ma’ruf itu adalah segala sesuatu yang telah dikenali dan ditetapkan oleh syari’at berupa ibadah-ibadah dalam bentuk ucapan maupun perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. Adapun perkara yang mungkar itu adalah segala hal yang ditolak oleh syari’at berupa berbagai bentuk maksiat, kekafiran, kefasikan, kebohongan, ghibah, namimah, dsb (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shalihin, 1/688)

Syaikh Utsaimin juga menjelaskan, bahwa sesuatu yang mungkar itu adalah segala hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia disebut mungkar ‘sesuatu yang diingkari’ karena pelakunya diingkari ketika hendak melakukan perbuatan itu (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 333)

Di dalam keterangan lainnya, Syaikh Utsaimin juga menegaskan bahwasanya perkara yang mungkar itu adalah segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atau rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 236)

Para ulama juga menjelaskan, bahwasanya perkara yang ma’ruf itu mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah dengan beribadah kepada Allah semata dan memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu dikuti segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dsb. Dan kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Abdussalam as-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)

Tunduk Kepada Hukum Rasul

Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang dibawa oleh Rasul kepada kalian ambillah dan apa saja yang dilarangnya untuk kalian tinggalkanlah.” (al-Hasyr : 7)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, urusan lahir maupun batin, dan bahwasanya apa-apa yang dibawa atau diajarkan oleh Rasul maka wajib bagi para hamba untuk mengambil dan mengikutinya. Tidak halal untuk menyelisihinya. Dan bahwasanya ketetapan Rasul terhadap hukum suatu perkara sama kedudukannya dengan ketetapan dari Allah. Tidak ada toleransi dan udzur bagi siapa pun untuk meninggalkan hal itu. Dan tidak boleh mendahulukan ucapan/pendapat siapa pun di atas ucapan/sabda beliau (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 851)

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu gara-gara pendapat siapa pun.” (lihat nukilan ini dalam Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Albani, hal. 50)

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. Maka apabila kalian berselisih dalam suatu perkara hendaklah kalian mengembalikannya kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (an-Nisaa’ : 59)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah perintahkan kita apabila berselisih untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena sesugguhnya di dalam keduanya terdapat pemutus perkara dalam segala persoalan yang diperselisihkan, dalam hal pokok-pokok agama ataupun cabang-cabangnya (lihat Tafsir as-Sa’di, hal. 184)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ adalah kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tafsiran ini disampaikan oleh Mujahid dan para ulama salaf yang lain (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2 hal. 345)

Di dalam tafsirnya, Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan bahwa kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah itu adalah wajib apabila ditemukan dalilnya di dalam keduanya, dan apabila tidak ditemukan maka jalannya adalah dengan berijtihad. Termasuk dalam tafsiran kalimat ini adalah apabila kita tidak mengetahui suatu perkara agama maka kita katakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 313)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab: 36)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)

Demikian sedikit catatan faidah semoga bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam.

Penyusun : www.al-mubarok.com

 

 

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *