AkhlaqNasehatPenyucian Jiwa

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan :

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia pun mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya.

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya.

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya.

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

[lihat al-Fawa’id, hal. 36]

Keterangan :

Di dalam kalimat-kalimat di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita bagaimanakah sikap yang benar dalam mengabdi kepada Allah. Seorang hamba siapa pun dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya sangat butuh kepada Allah. Setiap insan adalah ciptaan Allah. Sebelumnya dia tidak ada kemudian Allah menciptakan dirinya sehingga ada. Dengan demikian setiap hamba harus menghadirkan di dalam hatinya perasaan butuh sepenuhnya kepada Allah. Seperti yang kita ucapkan di dalam sayyidul istighfar, ‘…Khalaqtani wa ana ‘abduka…’ artinya, “Engkau lah yang telah menciptakan aku sedangkan aku ini adalah hamba-Mu.”    

Kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba ciptaan Allah. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Kita wajib mengakui segala macam bentuk nikmat yang Allah curahkan kepada kita bahwa itu memang datang dari-Nya. Seorang hamba tidak bisa lepas dari bantuan Allah sekecil apapun kebaikan yang ingin dia kerjakan dan sekecil apapun bahaya yang ingin dia hindari. Dengan keyakinan semacam itulah dia akan ingat bahwa kebaikan-kebaikan yang bisa dia lakukan selama ini benar-benar merupakan anugerah Allah kepadanya, bukan semata-mata hasil kerja keras dan jerih payahnya. Oleh sebab itu sebagian ulama ketika ditanya apa rahasia sehingga dia bisa begitu bersemangat dan mengumpulkan ilmu yang begitu banyak, mereka menjawab, “Aku tidak tahu, sesungguhnya hal itu hanyalah taufik…”  

Banyak orang yang bisa mencapai keberhasilan -sebagaimana yang biasa dijadikan ukuran keberhasilan oleh manusia- akan tetapi tidak banyak orang yang ketika berhasil bisa menyandarkan keberhasilannya itu kepada Allah. Banyak orang merasa hebat dan tangguh dengan segala pengorbanan dan kebaikan yang telah dilakukannya. Perasaan ini pada akhirnya membuatnya lupa bahwa hal itu merupakan akibat pertolongan Allah kepadanya. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Dahulu kami diuji dengan musibah, maka kami bisa bersabar. Akan tetapi ketika kami diuji dengan nikmat-nikmat kami justru gagal.”

Ketika musibah melanda banyak orang kembali ingat kepada Allah dan betapa besar kebutuhan mereka kepada-Nya. Sementara dalam kondisi senang dan berlimpah nikmat, banyak orang justru hanyut dalam kegembiraan dan lalai dari mensyukuri nikmat-Nya.

Kelalaian inilah yang pada akhirnya akan menyeret mereka dalam berbagai bentuk sikap kufur nikmat kepada-Nya. Dia pun menyandarkan nikmat itu kepada selain Allah. Seperti yang dialami oleh Qarun ketika dia menyombongkan diri seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku diberikan ini semuanya karena ilmu yang aku miliki.”

Di sisi lain, seorang hamba harus selalu menyadari akan dosa-dosa dan kesalahan yang dia kerjakan. Dengan mengingat hal itu niscaya akan semakin besar perasaan butuhnya kepada Allah. Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Dia. Sebaik apapun amal yang dia lakukan maka dia sadar bahwa hak-hak Allah sangatlah agung dan terlalu sempurna untuk bisa dia tunaikan hak-hak-Nya itu dengan baik. Seburuk apapun dosa dan maksiat yang telah dia lakukan maka dia akan tetap melihat bahwa Allah senantiasa membuka pintu taubat untuk hamba-Nya. Dia pun sadar bahwa apabila dia tidak bertaubat kepada-Nya nasibnya berada di dalam bahaya.

Dia sadar bahwa apabila Allah menerima amalnya itu pun karena kemurahan Allah kepada dirinya. Dan apabila Allah tidak menerimanya maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah menyaksikan curahan nikmat Allah dan selalu memperhatikan aib diri dan amalan kita. Dengan melihat curahan nikmat akan tumbuh kecintaan kepada Allah. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal kita niscaya akan membuahkan perendahan diri dan pengagungan kepada-Nya. Dengan cinta dan pengagungan itulah kita akan bisa beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Karena ibadah kepada Allah adalah ketundukan kepada-Nya yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya.

Bukanlah hamba Allah apabila dia menyombongkan dirinya. Bukan hamba Allah apabila dia merasa hebat dan sombong di hadapan-Nya. Bukanlah hamba Allah orang yang melakukan ketaatan tanpa rasa kecintaan kepada-Nya. Hamba Allah yang sejati adalah yang tulus beribadah kepada-Nya dengan penuh perendahan diri dan kecintaan kepada-Nya. Sampai pun apabila Allah tidak menerima amalnya dia memandang bahwa dirinya layak untuk mendapatkan perlakuan itu. Bahkan ketika Allah timpakan musibah kepadanya hal itu pun merupakan bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya; agar mereka bertaubat kepada-Nya atau semakin bersyukur akan nikmat-Nya.

Oleh sebab itu orang yang bisa merasakan lezatnya iman adalah mereka yang ridha Allah sebagai rabb. Artinya dia merasa puas bahwa Allah semata sesembahannya, Allah semata yang mengatur kehidupannya, dan Allah pula yang menetapkan takdir musibah kepadanya. Dia yakin bahwa Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Apabila Allah berikan musibah artinya Allah menguji kesabarannya. Apabila Allah berikan nikmat artinya Allah ingin melihat sejauh mana dia bisa mensyukuri nikmat itu. Demikian seterusnya…

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *