HaditsIlmuNasehatPenyucian Jiwa

Malaikat Pun Meletakkan Sayapnya

Bismillah.

Imam al-Mundziri dalam bukunya at-Targhib wa at-Tarhib membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain dari sahabat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata :

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penimba ilmu karena ridha dengan perbuatannya. Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampunan oleh segala yang ada di langit dan di bumi bahkan oleh ikan di dalam air. Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, sebenarnya mereka itu hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya sungguh dia telah mengambil jatah yang sangat melimpah.” (dinyatakan hasan li ghairihi oleh al-Albani, lihat at-Targhib wa at-Tarhib, 1/93 cetakan al-Ma’arif)

# Kedalaman Fikih Sahabat Abud Darda’

Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan adalah apabila ditanyakan kepadaku pada saat aku dihisab nanti, ‘Kamu sudah mengetahui, lantas apa yang sudah kamu amalkan dengan ilmu yang sudah kamu ketahui itu?’.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 240)

# Ilmu dan Amal Harus Beriringan

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hlm. 25)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita memohon kepada Allah agar diberikan hidayah menuju jalan yang lurus; yaitu jalan orang yang diberikan nikmat dimana mereka itu adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya maka dia termasuk golongan yang dimurkai. Adapun orang yang beramal tanpa ilmu maka dia termasuk golongan orang yang sesat. Hal ini menunjukkan bahwasanya untuk bisa beramal dan beribadah dengan benar dibutuhkan ilmu, sehingga dengan cara itulah seorang insan akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus/shirothol mustaqim (lihat Minhatul Malik al-Jalil, 1/227)

# Pondasi Ibadah dan Amalan

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu adalah pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan tidak ada amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu. Karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu. Yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak -tanpa batasan atau embel-embel tertentu, pent- di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian juga dalam ucapan para ulama maka sesungguhnya yang dimaksud ialah ilmu syari’at. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu…” Maka ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syari’at (lihat Transkrip Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh beliau, hal. 6)

Ilmu merupakan imam dan pemimpin bagi amal. Adapun amal adalah pengikut dan penganutnya. Setiap amalan yang tidak berjalan di belakang ilmu atau tidak dilandasi dengan ilmu maka amal itu tidak akan memberikan manfaat bagi pelakunya. Bahkan hal itu justru mendatangkan marabahaya untuknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka hal-hal yang dirusaknya justru lebih banyak daripada hal-hal yang akan dia perbaiki.” Amal yang selaras dengan ilmu itulah yang akan diterima, sedangkan amal yang menyelisihinya akan tertolak. Ilmu adalah timbangan dan standar. Amal yang diterima adalah amalan yang ikhlas dan mengikuti tuntunan. Sementara orang tidak akan bisa mewujudkan amal yang ikhlas dan sesuai tuntunan kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah petunjuk menuju ikhlas dan petunjuk untuk bisa mengikuti tuntunan (lihat keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah sebagaimana tercantum dalam al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 92-93)

Surga tidak akan bisa dimasuki dan diraih kecuali dengan bekal iman dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Masuklah kalian ke dalam surga dengan apa-apa yang telah kalian amalkan.” (an-Nahl : 32). Dan tidak ada jalan untuk mengenali iman dan amal salih kecuali dengan ilmu yang bermanfaat (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitab beliau Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 65)

# Pentingnya Ilmu Aqidah

Di dalam hadits dikisahkan, bahwa ketika seorang mukmin berada di alam kubur maka dia pun didudukkan lalu dia pun didatangi oleh malaikat -yang bertanya kepadanya- kemudian dia pun bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud dari ayat (yang artinya), “Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman, dst.” (Ibrahim : 27) (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 48)

Dalam hadits lain diceritakan, bahwa ketika itu datanglah dua malaikat dan bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ dia menjawab, “Rabbku adalah Allah.” Mereka juga bertanya, ‘Apa agamamu?’ dia menjawab, “Agamaku Islam.” Lalu mereka juga bertanya, ‘Siapakah lelaki yang diutus untuk kalian?’ maka dia menjawab, “Dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Mereka bertanya lagi, ‘Apa yang kamu ketahui?’ dia menjawab, “Aku membaca Kitabullah maka aku pun beriman kepadanya dan membenarkannya.” (lihat Ahwal al-Qubur, hal. 49)

Oleh sebab itulah Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan memberikan keteguhan kepada orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat.” (Ibrahim : 27). Yang dimaksud orang beriman itu adalah yang di dalam hatinya terisi keimanan yang sempurna -tidak rusak- sehingga melahirkan amal-amal anggota badan. Allah berikan kepada mereka keteguhan di saat diterpa syubhat dengan karunia berupa ilmu dan keyakinan. Dan Allah berikan kepada mereka keteguhan di saat diterpa fitnah syahwat dengan kehendak dan tekad yang kuat sehingga lebih mengedepankan kehendak Allah di atas hawa nafsunya. Demikian pula ketika maut menjemput Allah berikan kepadanya keteguhan di atas agama Islam, mendapatkan husnul khotimah, dan bisa menjawab pertanyaan kubur dengan benar (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 425-426)

# Teladan Ulama Terdahulu

Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang semisal Ahmad bin Hanbal. Kami telah bersahabat dengannya selama lima puluh tahun, meskipun demikian beliau sama sekali tidak pernah membanggakan kepada kami apa-apa yang ada pada dirinya berupa kesalihan dan kebaikan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 536)

Ada seorang perempuan berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai orang yang ‘alim/berilmu, berikanlah fatwa kepadaku.” Maka beliau pun menjawab, “Sesungguhnya orang yang ‘alim adalah yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)

ar-Rabi’ bin Anas rahimahullahmengatakan, “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah ta’ala maka sesungguhnya dia bukanlah seorang yang ‘alim/berilmu.” Mujahid rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang benar-benar ‘alim ialah yang senantiasa merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 166)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Adalah para ulama apabila mereka telah mengetahui suatu ilmu maka mereka pun berusaha mengamalkannya. Apabila mereka mengamalkannya maka mereka pun disibukkan dengannya. Apabila mereka telah sibuk dengan amal maka mereka pun hilang. Dan apabila mereka hilang mereka pun dicari. Dan apabila mereka dicari maka mereka pun berusaha untuk lari.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 249)

# Ilmu Yang Bermanfaat

al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hlm. 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya [ibadah] apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu namun tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan/ikrar, bukan semata-mata pembenaran/tashdiq. Di dalam ikrar/pengakuan itu telah terkandung; ucapan hati [qaul qalbi] yaitu adalah berupa tashdiq/pembenaran, dan juga amalan hati [‘amalul qalbi] yaitu berupa inqiyad/kepatuhan.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hlm. 92)

# Mari Berintrospeksi

Mak-hul rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits demi mendebat orang-orang bodoh atau berbangga-bangga di hadapan para ulama, atau demi memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya maka dia di neraka.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 227)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengenali jati dirinya sendiri maka dia akan menyibukkan diri dengan memperbaikinya daripada sibuk mengurusi aib-aib orang lain. Barangsiapa yang mengenal kedudukan Rabbnya niscaya dia akan sibuk dalam pengabdian kepada-Nya daripada memperturutkan segala keinginan hawa nafsunya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 56)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 38)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah memahami agamanya orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i [2/84])

# Bagaimana Kondisi Hatimu? 

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Terkadang hati itu sakit dan semakin parah penyakitnya sementara pemiliknya tidak sadar, karena dia sibuk dan berpaling dari mengetahui hakikat kesehatan hati dan sebab-sebab yang bisa mewujudkannya. Bahkan, terkadang hati itu mati sedangkan pemiliknya tidak menyadari. Tanda kematian hati itu adalah tatkala berbagai luka akibat dosa/keburukan tidak lagi menyisakan rasa perih dan pedih di dalam hati. Demikian pula, tatkala kebodohan tentang kebenaran dan ketidaktahuan dirinya tentang akidah-akidah yang batil tidak lagi membuatnya merasa kesakitan. Sebab, hati yang hidup akan merasakan perih apabila ada sesuatu yang jelek dan nista yang merasuki jiwanya, dan ia akan merasa kesakitan akibat tidak mengetahui kebenaran; hal ini akan bisa dirasakan berbanding lurus dengan tingkat kehidupan yang ada di dalam hatinya.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/131)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, “Hidupnya hati adalah dengan amal, irodah/kehendak, dan himmah/cita-cita. Manusia apabila menyaksikan pada diri seseorang tampaknya perkara-perkara ini, mereka pun mengatakan, “Dia adalah orang yang hatinya hidup.” Sementara hidupnya hati adalah dengan terus-menerus berdzikir dan meninggalkan dosa-dosa.” (lihat al-Majmu’ al-Qayyim, 1/118)

Orang yang berdzikir adalah orang yang hatinya hidup, sedangkan orang yang tidak pernah berdzikir kepada Allah maka hatinya menjadi mati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang yang hidup dan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu)

Demikian sedikit kumpulan catatan, semoga bermanfaat bagi kita. Wallahul muwaffiq.

# Penyusun : www.al-mubarok.com

 

 

 

     

 

 

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *